Berita Banyumas
Ada Luka di Balik Indahnya Tarian Lengger Banyumas
Lengger kesenian tari tradisional yang berkembang di wilayah Banyumas dan sekitarnya.
Penulis: Imah Masitoh | Editor: sujarwo
Ia sudah kenyang dengan cibiran orang terkait dunia yang digelutinya. Anggapan umum, laki-laki tidak pantas menari lengger. Namun ia sudah kebal karena terbiasa sejak kecil terhadap omongan semacam itu. Toh ia melihat, pada kesenian lain, ebeg (kuda lumping) misalnya, penarinya juga lintas gender, laki-laki dan perempuan.
“Ada kepikiran laki-laki kok nari. Tapi ya cuma beberapa waktu saja. Ebeg pun suka ada yang perempuan. Dari kecil saya sudah bisa melihat laki-laki ataupun perempuan bisa menarikan apa saja,” jelasnya.
Muhammad Yusuf, lengger lanang asal Kabupaten Pemalang punya pengalaman sama. Ia tertarik lengger sejak kecil karena sering ada pertunjukan lengger di desanya. Hingga ia bertekad bersekolah di SMKI Banyumas (SMK N 3 Banyumas) yang sudah terkenal dengan jurusan seninya hingga lanjut kuliah di ISI Solo.
Keputusannya menekuni lengger tidaklah mulus karena dihadapkan pada masalah gender equality (kesetaraan gender).
Ia bahkan kerap dituding memiliki penyimpangan seksual karena hobinya menari. Label bencong atau banci disematkan pada dirinya meskipun dalam kesehariannya ia tetap laki-laki normal seperti pria pada umumnya.
"Padahal kalau jadi lengger itu hanya opsional di panggung saja. Tidak sampai pada dunia nyata," imbuhnya.
Namun mentalnya sudah terlatih menghadapi cibiran itu. Masalah itu tak lagi digubrisnya.
Karena Lengger, menurut ia, bukan sekadar seni menggerakkan tubuh. Ia merasa bisa mempelajari inti dasar lengger. Dulunya lengger sebagai upacara ritual syukuran. Dari situ ia menganggap lengger bisa sebagai media ibadah, meditasi, dan penenangan diri.
"Dari titik balik itu saya bisa menerima. Ini yang menjadi dasar saya bertahan dan meyakini bahwa lengger itu bukan hal yang salah," ungkapnya.
Piko Prasetyo bukan hanya lincah menari, ia juga menjadi sinden dan cucuk lampah. Anggapan miring tentang lengger lanang diakuinya ada. Namun menurutnya, sebagian masyarakat justru mengagumi lengger lanang dengan sisi kelebihannya.
Pementasan lengger lanang menjadi hal unik. Ini karena tidak semua laki-laki dapat menari lengger dengan ciri khas geol dan gerakan luwes lainnya.
"Ngga papa karena rejeki dari situ, karena mereka hanya menari saja," tutur Nik Hayatni.
Lengger tak Berkembang di Desa Sang Maestro
Kecintaan pada dunia seni membuat Sirwan memiliki semangat dalam menghidupkan kembali lengger ditempat kelahirannya. Terlebih Sirwan adalah salah satu kerabat terdekat (cucu) dari tokoh maestro lengger legendaris Mbah Dariah.
Mbah Dariah lahir di Desa Somakaton, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas dengan nama kecil Sadam. Hingga akhir hayatnya Mbah Dariah mendedikasikan hidupnya untuk menjadi seorang lengger. Mbah Dariah meninggal dunia tahun 2018 silam dalam usia 98 tahun. Ia dimakamkan di Desa Plana, Somagede, Kabupaten Banyumas.

Ia merasa terlambat mengangkat Lengger di daerahnya yang merupakan tempat kelahiran dan kematian sang maestro lengger.