Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Kasus Kekerasan

Derita Perempuan di Jawa Tengah, Dibenturkan ke Tembok, Ancaman Dibunuh hingga Dipaksa VCS

LRC-KJHAM Jawa Tengah merilis data tahunan terkait kekerasan terhadap perempuan.

Penulis: iwan Arifianto | Editor: sujarwo
Tribun Jateng/ Iwan Arifianto
Ilustrasi. Kepala Divisi Bantuan Hukum LRC-KJHAM, Nihayatul Mukharomah saat penyampaian situasi kekerasan terhadap perempuan, di Kota Semarang, Kamis (25/11/2021). 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Legal Resources Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Jawa Tengah merilis data tahunan terkait kekerasan terhadap perempuan.

Berdasarkan data LRC-KJHAM tercatat sejak tahun 2017 sampai tahun 2021 terdapat 1.249 kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa tengah.

Di tahun ini,  Januari
– November 2022 tercatat 124 kasus, dengan 147 perempuan menjadi
korban.

Sebanyak 70 persen perempuan menjadi korban kekerasan seksual, satu korban kekerasan seksual meninggal dunia dan dua korban KDRT mengalami kriminalisasi.

"Berdasarkan sebaran kasus tertinggi di Kota Semarang yaitu 58 kasus atau
46,8 persen," ujar Kepala Divisi Bantuan Hukum LRC-KJHAM, Nihayatul Mukharomah seperti keterangan tertulis yang diterima Tribun, Senin (12/12/2022).


Sebaran daerah berikutnya disusul Kabupaten Sragen yaitu 13 kasus atau 10,4 persen. Kabupaten Demak yaitu delapan kasus atau 6,5 persen.

Kabupaten Semarang yaitu tujuh kasus atau 5,7 persen, dan Kabupaten Jepara yaitu lima kasus atau 4 persen.

Apabila dilihat berdasarkan jenis kasusnya tertinggi kekerasan seksual dengan 83
kasus, di antaranya pelecehan seksual 19 kasus, eksploitasi seksual 19
kasus. 

Berikutnya, kekerasan dalam pacaran 24 kasus, perbudakan seksual enam kasus,
perkosaan 12 kasus, pemaksaan aborsi satu kasus.

Ada kasus trafficking dengan tujuan eksploitasi seksual satu kasus, prostitusi online satu kasus, perkosaan dalam rumah tangga empat kasus dan kekerasan dalam pacaran mengalami kekerasan fisik dan psikis empat kasus.

"Kasus tertinggi kekerasan seksual kemudian KDRT dengan 33 kasus," ujarnya.

Ia merinci dari usia korban yang mana 62,50 persen korban berusia dewasa.  35,40 persen usia
korban anak dan 2,10 persen korban tidak diketahui usianya. 

Sedangkan pelaku juga lebih banyak usia dewasa dengan jumlah 85 persen sedangkan 9,30 persen  usia anak dan 5,70 persen tidak diketahui usianya. 

"Lokasi kejadian banyak terjadi di wilayah privat dengan jumlah 55,30 persen dan di wilayah publik 44,70 persen," ungkapnya.

Pelaku kekerasan terhadap perempuan lebih banyak dilakukan oleh orang-orang terdekat korban seperti ayah kandung, ayah tiri, suami, dosen, kiai, atasan dalam hubungan pekerjaan, pacar, teman, guru, tetangga, driver online, mantan pacar, orang tidak dikenal. 

Dilihat dari bentuk kekerasannya perempuan korban mengalami kekerasan seperti dijambak,
dibenturkan ke tembok, diancam akan dibunuh.

Ilustrasi. Legal Resource Center untuk Keadilan Jender Dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) menggelar diskusi
Ilustrasi. Legal Resource Center untuk Keadilan Jender Dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) menggelar diskusi (Dok. Tribun Jateng)

Diancam akan disebarkan foto atau video tanpa busana korban, memaksa korban untuk melakukan video call seks (Vcs) dan memperlihatkan alat kelamin pelaku. 

Pelaku juga membujuk rayu korban dan memperjual belikan korban untuk melayani hubungan seksual pelaku, bahkan tidak diberi nafkah hingga diusir dari rumah.

Modus yang digunakan oleh pelaku kekerasan seksual juga beragam dengan memanfaatkan aplikasi Tinder, Game Online untuk membangun kepercayaan. 

Pendekatan lainnya dengan korban seperti diajak bertemu di hotel, minta dikirimin foto payudara, tanpa pakaian, dengan janji fotonya tidak akan disebarkan ke orang lain. 

Adapula yang dinikahi dengan dua kalimat syahadat tanpa wali dan saksi.

"Modus membujuk korban usia anak untuk ikut dalam prostitusi online dengan iming-iming imbalan uang serta enak jika tidur di kamar hotel," paparnya.

Sementara itu korban masih mengalami hambatan dalam mengakses keadilan. 

Di antaranya adalah adanya kasus pelecehan seksual korban dewasa yang didampingi LRC-KJHAM tidak diproses setelah korban mendapatkan tekanan dari orang tua pelaku. 

Korban diminta untuk mencabut laporannya di kepolisian.  Padahal dalam undang-undang Tindka Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) jelas mengatur bahwa kasus kekerasan seksual tidak dapat dilakukan mekanisme keadilan restoratif.

Sudah ada Undang-undang tindak pidana kekerasan seksual tetapi masih belum bisa diimplementasikan. 

Seperti pada kasus eksploitasi seksual yang korbannya perempuan dewasa, kasus kekerasan seksual dengan modus dipacari oleh pelaku karena dianggap bukan kekerasan tetapi “suka sama suka”. 

"Kasus kekerasan seksual dalam rumah tangga juga sulit untuk diproses," jelasnya.

Dari kasus yang didampingi LRC-KJHAM, hasil pemeriksaan medis korban KDRT yang juga mengalami kekerasan seksual tidak diterima polisi, karena dianggap tidak ada kekerasan dalam relasi suami istri.

Berdasarkan pada situasi tersebut, pihaknya menuntut kehadiran Negara yaitu aparat penegak hukum harus mengimplementasikan undang-undang TPKS.

Pemerintah segera membuat peraturan turunan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Mengalokasikan anggaran untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.

"Memperkuat gerakan masyarakat sipil dalam kerja-kerja penghapusan kekerasan terhadap perempuan," tandasnya. (*)

Baca juga: LRC–KJHAM Mulai Kampanyekan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

Baca juga: LRC-KJHAM: dalam Tiga Tahun Terakhir, Kekerasan terhadap Perempuan Terus Meningkat

Baca juga: Upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved