Opini
Opini Lukmono Suryo Nagoro: Mega dan Jokowi
Akhir-akhir ini, ada perdebatan mengenai pidato Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pada hari ulang tahun ke-50 partai yang dipimpinnya.
Opini Ditulis Oleh Lukmono Suryo Nagoro (Editor Buku dan Tinggal di Solo)
TRIBUNJATENG.COM - Akhir-akhir ini, ada perdebatan mengenai pidato Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pada hari ulang tahun ke-50 partai yang dipimpinnya. Pidato ini dikutip secara verbatim oleh harian nasional Kompas. Jarang-jarang ada pidato ketua umum partai yang dimuat oleh koran nasional.
Publik pun menunggu-nunggu nama yang akan dikeluarkan oleh Mega dari saku kantongnya: capres pilihan Ibu Mega. Dari awal sampai akhir pidato, tidak satu pun nama capres keluar. Hal ini membuat publik kecewa. Mereka ingin nama jagoannya dikeluarkan oleh Ibu Mega. Entah Ganjar Pranowo, entah Puan Maharani.
Sebelum membahas soal pidatonya, saya ingin sedikit membahas gaya berpolitik Ibu Mega ini. Salah satu yang saya kagumi dari gaya politik Ibu Mega ini adalah konsistensi dan keras kepalanya itu. Ketika kalah sampai dua kali dalam pilpres melawan Susilo Bambang Yudhoyono, tidak sedikit pun Ibu Mega atau kadernya kepincut jabatan di eksekutif. PDI Perjuangan total menjadi partai oposisi. Selama menjadi oposisi, Ibu Mega memperbaiki internal PDI Perjuangan sehingga bisa merebut kekuasaan lagi pada 2014 dan 2019.
Saya akan memulai membahas pidato Ibu Mega saat menyatakan saya ini cantik, karismatis, dan pejuang. Publik pun akan mencibir bagian ini karena bisa saja berpendapat hal demikian kok diucapkan saat berpidato di hadapan kadernya. Saya ingin menganalisis dari sisi lain. Ibu Mega ini ketum parpol terbesar yang sangat jarang mendapat sorotan kamera. Muncul di televisi atau media massa. Ketika muncul dengan pernyataan-pernyataan yang nyeleneh tersebut, publik pasti akan membaca dan memberi reaksi.
Eloknya, reaksi publik terhadap Ibu Mega selalu konsisten: Meremehkannya. Jarang sekali ada yang memuji pidato Ibu Mega di setiap kesempatan. Komentar-komentar yang meremehkan itu makin menegaskan dugaan bahwa dia sosok wanita, yang sebaiknya jadi ibu rumah tangga saja dan menjadi ketua partai karena dia anaknya Presiden Soekarno. Ibu Mega mendapat keistimewaan lahir di Istana Kepresidenan, hal itu juga disampaikannya dalam pidato.
Ketika banyak orang meremehkan. Tentunya apresiasi terhadap dirinya pun minim sekali dan banyak orang juga memandang dirinya sebelah mata. Artinya, sebagai politisi, Ibu Mega bisa dianggap sebagai politisi yang lemah. Faktanya, boleh dibilang dia lemah, jadi ibu rumah tangga saja, atau kebetulan anaknya Presiden Soekarno, PDI Perjuangan yang dia pimpin sejak 1999 dalam polling-polling lembaga survei menjadi yang terdepan pada pemilu 2024 alias calon pemenang. Begitulah gaya berpolitik Ibu Mega. Dia diremehkan sekaligus ditakuti, paling tidak oleh kader-kadernya. Sampai hari ini pun, kader-kader PDI Perjuangan tidak boleh membicarakan soal copras-capres. Hal ini karena soal capres itu prerogatif Ibu Mega.
Bagian pidato Ibu Mega ini yang paling favorit adalah hubungan antara dirinya dan Presiden Joko Widodo. Ibu Mega mungkin sudah gerah mendengar isu Jokowi tiga periode. Karena itu, Ibu Mega pun dengan tegas menyatakan bahwa masa jabatan presiden adalah dua kali dan meminta kader-kadernya tidak bermain-main dengan aturan konstitusi. Hubungan antara Ibu Mega dan Presiden Joko Widodo sendiri itu pun tidak selamanya harmonis. Beberapa kejadian menyebabkan pendukung atau relawan Presiden Joko Widodo naik pitam adalah Presiden Joko Widodo adalah petugas partai dan tanpa PDI Perjuangan, Presiden Joko Widodo bukan siapa-siapa.
Pertama, Presiden Joko Widodo adalah petugas partai. Hal ini menegaskan hubungan Ibu Mega sebagai Ketua PDI Perjuangan dan Presiden Joko Widodo sebagai anggota partai. Relawan pendukung Presiden Joko Widodo pun marah mendengar pernyataan Ibu Mega tersebut sampai menyarakan Presiden Joko Widodo membuat partai sendiri. Namun, Presiden Joko Widodo tidak keluar dari PDIP.
Kedua, tanpa PDI Perjuangan, Presiden Joko Widodo bukan siapa-siapa. Pernyataan ini ada benarnya. PDI Perjuangan adalah partai pengusung Joko Widodo ketika mencalonkan diri sebagai wali kota Surakarta, gubernur DKI Jakarta, dan presiden Indonesia. Hal ini juga sesuai dengan konstitusi bahwa presiden dan/atau wakil presiden hanya bisa dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Meskipun di tingkat pilkada, calon perorangan sudah diakomodasi.
Kedua hal di atas juga ditegaskan oleh Ibu Mega di pidatonya kemarin. Presiden Joko Widodo sebagai anggota PDI Perjuangan diwanti-wanti untuk tidak bermanuver soal capres berikutnya. Hal itu merupakan prerogatif Ibu Mega. Secara terang-terangan, Ibu Mega juga meminta Presiden Joko Widodo tidak bermain-main dengan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu. Ibu Mega mencontohkan ayahnya, Presiden Soekarno yang diangkat menjadi presiden seumur hidup oleh MPRS, kemudian dijatuhkan oleh MPRS juga. Ibu Mega sudah mengingatkan Presiden Joko Widodo bahwa masa jabatan adalah dua jabatan dan memerintahkan kader untuk tidak berimprovisasi soal hal itu.
Hubungan Ibu Mega dan Presiden Joko Widodo memang sepenuhnya tidak adem ayem. Namun, keduanya tidak pernah berseteru di depan publik. Ketika Ibu Mega bilang bahwa nanti wakil presiden Bapak Ma’ruf Amin dan Menkopolhukamnya Bapak Mahfud MD menyiratkan Presiden Joko Widodo menurut pada Ibu Mega. Secara tidak langsung, Presiden Jokowi takut pada Ibu Mega. Memang tidak semua apa yang diinginkan Ibu Mega bisa dilaksanakan oleh Presiden Joko Widodo, tetapi setiap langkah-langkah politik Presiden Joko Widodo akan memperhitungkan reaksi Ibu Mega. (*tribun jateng cetak)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.