Opini
Menata Air, Menata Harapan
angkah Luthfi menyasar persoalan banjir sebagai sistem, bukan kejadian. Kesadaran ini merujuk pada pandangan ahli kebencanaan Gilbert F. White
Penulis: Adi Tri | Editor: galih permadi
Oleh Wahidin Hasan, Pemerhati Kebijakan Publik pada LHKP PWM Jawa Tengah
SETIAP musim penghujan, Jawa Tengah memutar narasi lama: sungai meluap, kota terendam, pesisir tertutup rob, dan warga kembali membersihkan lumpur dari ruang tamu.
Seperti cerita yang diputar ulang saban tahun, kita seolah tak pernah menyelesaikan bab yang sama. Namun dalam satu tahun terakhir, pola itu mulai menunjukkan tanda perubahan.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah di bawah kepemimpinan Gubernur Ahmad Luthfi menempatkan penanganan banjir sebagai agenda prioritas—bukan sekadar proyek tahunan, tetapi sebagai rekayasa ulang tata ruang, tata air, dan tata kelola lingkungan.
Langkah Luthfi menyasar persoalan banjir sebagai sistem, bukan kejadian. Kesadaran ini merujuk pada pandangan ahli kebencanaan Gilbert F. White, dalam buku klasik Human Adjustment to Floods (1945), yang menyebut banjir tidak hanya terjadi karena air meluap, tetapi karena manusia mengelola ruang alaminya secara keliru.
“Bencana bukan semata urusan alam,” tulis White, “tetapi produk dari pilihan manusia.” Pandangan White digenggam dalam kebijakan penanganan banjir di Jawa Tengah sejak tahun pertama pemerintahan Ahmad Luthfi.
Distribusi Anggaran & Titik Prioritas
Pemprov Jawa Tengah mengalokasikan sekitar Rp1,2 triliun untuk pengendalian banjir dan pengurangan risiko bencana dalam tahun pertama.
Anggaran itu tidak diguyurkan dalam satu titik, tetapi dipetakan pada area konsentris yang saling terhubung: hulu–tengah–hilir.
Semarang menjadi jantung intervensi. Normalisasi Banjir Kanal Timur–Barat, pengerukan Sungai Tenggang dan Sringin, serta modernisasi rumah pompa Tambaklorok, Terboyo, dan Mangkang dikerjakan untuk mengurai air kiriman dari Ungaran.
Kawasan Genuk, Kaligawe, dan Tlogosari—yang selama bertahun-tahun menjadi “fabel banjir” kota—mulai menunjukkan perubahan, genangan yang dulu bertahan berhari-hari, kini surut hanya dalam hitungan jam.
Di Demak dan Kudus, pemrov mengerjakan peninggian tanggul Kali Wulan, rekonstruksi tanggul Kali Tuntang, dan pemetaan ulang alih fungsi lahan sawah yang berubah menjadi permukiman.
Program ini menyerap anggaran gabungan pemprov dan pusat sekitar Rp200 miliar, dengan negosiasi sosial yang tidak mudah, merelokasi rumah-rumah yang berdiri terlalu dekat di bibir sungai.
Di Pekalongan, pendekatan penanganan rob tidak lagi semata membangun tanggul beton seperti era sebelumnya. Ahmad Luthfi mengintegrasikan pembangunan sabuk hijau pesisir—penanaman mangrove di wilayah Slamaran, Tirto, dan Siwalan—sebagai penyerap energi gelombang.
Pendekatan ini sesuai dengan model coastal living shoreline yang banyak dibahas dalam buku The Ecology of Mangrove Restoration (Lewis, 2005).
| Dari Hafalan Rumus ke Logika Kehidupan: Menata Ulang Pembelajaran Numerasi |
|
|---|
| Memantabkan Lir Ilir Sebagai Warisan UNESCO |
|
|---|
| Kampus: Wahana Kaderisasi Pemimpin Bangsa |
|
|---|
| Bukan Lagi Sembako, Tapi Bahan Nasi Goreng yang Pengaruhi Ekonomi Indonesia |
|
|---|
| Janji Manis Makan Bergizi Gratis: Antara Populisme dan Realita Pahit |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/20251107_Wahidin-Hasan.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.