Citizen Journalism
Cooking Class di Rumah Tetap Cuan
Memasak adalah pekerjaan sehari-hari ibu rumah tangga. Selain menyiapkan sarapan buat anak-anak sebelum berangkat sekolah, juga bentuk pengabdian
Di berbagai sekolah memasak (cooking class) membutuhkan biaya mahal. Apalagi jika pengajarnya Chef Terkenal. Tahun 2015, saya ikut belajar manajemen masak-memasak sehari (8 jam, 4 materi) di Semarang dengan membayar 4 juta rupiah.
Meutia Hafidz, putri kami kebetulan sedang magang sebulan di Pemkab Kendal sambil mengambil data penelitian untuk Tugas Akhir menyelesaikan studi di IPDN. Berbeda dengan kebiasaan adiknya Salma Hafidz yang baru selesai lulus Sarjana Kedokteran Gigi. Sejak kecil masing-masing sudah punya ketertarikan kegiatan, hobby dan kebiasaan berbeda. Jika Tia senang belajar dalam kesunyian, Salma lebih enjoy belajar sambil menonton TV dan mendengarkan musik. Yang satu suka "macak" (berdandan), yang satunya suka "masak".
Sebelum masuk IPDN, Meutia sempat kuliah sebentar di Islamic Fashion Institute Bandung dan pernah sekali memamerkan karyanya pada fashion show di Plaza Indonesia Jakarta. Kami tidak pernah mengharuskan anak untuk sekolah di jurusan apa atau kuliah mengambil program studi tertentu. Bagi kami semua jurusan/prodi baik, semua ilmu perlu dan bermanfaat. Asal "ditemeni" (serius, fokus, konsisten, berkelanjutan) pasti menghasilkan karya luar biasa.
Sebagai orang tua, kami terharu setelah "nyolong pethek" (salah terka) terhadap Salma yang telah banyak membuat karya ekonomi kreatif sebagai "content creator" aneka masakan/kuliner dari berbagai hotel, resto dan cafe di Yogya. Dikerjakan disaat sela waktu kuliah FKG di UMY, khususnya saat liburan akhir pekan. Ada 2 keponakan laki-laki yang kuliah di Yogya seringkali menemani dan mengawal proses pengambilan gambar dan video malam hari. Keahlian memasak yang sudah terasah di rumah sangat membantu pekerjaan membuat konten yang musti mencicipi beragam makanan minuman (mamin) yang akan dipromosikan. "Ngirit uang jajan dan perbaikan gizi anak kos pakdhe" ujar salah satu keponakan kami saat ketemu di Yogya.
Pemilik resto/cafe/manager hotel biasanya menghubungi agar dibuatkan beberapa konten sebelum melaunching produk mamin baru. Awalnya kami "ora nggalbo" (tidak mengira) ketika terlambat mengirim uang saku terlihat santai. Ternyata mendapat "cuan" (keuntungan) dari pembuatan aneka konten makanan. Selaras dengan hobby dan kebiasaan sejak kecil yang suka masak di rumah sekaligus suka jajan di sekolah.
Alah Bisa Karena Biasa.
Setiap profesi, pekerjaan dan ketrampilan membutuhkan waktu, proses, latihan dan pembiasaan. Kebiasaan melakukan pekerjaan secara baik, akan menghasilkan sikap dan sifat bekerja secara baik. Dengan sikap dan sifat yang bagus akan membuahkan karakter sebagai profesional dan pekerja yang bagus pula.
Seorang pilot handal butuh jam terbang yang tinggi dan teruji melewati cuaca buruk. Seorang nahkoda kapal yang hebat pernah melewati gelombang air laut yang dahsyat. Begitu pula chef dan barista profesional pasti teruji melakoni pekerjaan memasak dan membuat minuman yang enak selama puluhan tahun. Begitulah Sunatullah menjalankan sifatnya secara absolut, pasti, obyektif dan evolutif (berproses, bertahap).
Seorang kawan Tionghoa pernah bercerita mengapa bangsa mereka bisa berhijrah dan mampu bertahan hidup di setiap wilayah yang ditempati. Setiap anak muda China oleh orang tuanya diharuskan menguasai salah satu dari 4 jenis pisau sebelum pergi merantau (hijrah makaniyah). Keempat jenis pisau tersebut, yaitu :
Pertama, Pisau Dapur.
Maknanya harus pandai memasak. Setiap orang hidup butuh pangan (makanan dan minuman). Maka tak heran jika Chinese Food menjadi salah satu makanan yang mendunia. Saya suka mampir makan di kedai Muslim Chinese Food jika berkunjung di Kudus. Juga senang makan Hainan Chicken Rice, nasi hangat yang dikukus dengan campuran parutan jahe yang disajikan bersama kaldu dan daging ayam yang lezat.
Kecap Manis, Taoto, Terasi, Bakpia, Bakpao, Bakmi, Bakwan, Cap Cay adalah sebagian kecil jejak pangan yang telah dibuat imigran China di masa lalu. Sebagian budaya pangan di Indonesia disumbang oleh WNI keturunan China yang turun temurun tinggal disini.
Kedua, Pisau Cukur.
Setiap orang membutuhkan jasa tukang cukur, capster salon maupun barber shop yang marak hadir sampai ibukota kecamatan dan kelurahan. Beragam jasa memotong dan merapikan rambut, menyemir atau mewarnai (colouring), creambath, smoothing dan berbagai perawatan rambut dibutuhkan banyak orang. Terutama kaum hawa yang suka ribet dengan penampilan rambutnya.
Seorang perantau yang memiliki ketrampilan menggunakan pisau cukur dapat dipastikan mendapatkan pekerjaan dan penghasilan. Sekalipun menjadi tukang cukur keliling antar kampung yang menggelar jasanya dibawah pohon mangga halaman rumah pelanggan.
Ketiga, Pisau Kayu.
Bisa berupa kampak ataupun alat pasah kayu. Dahulu orang membangun rumah dengan mengandalkan bahan baku dari kayu dan bambu. Maka orang Jawa sering menyebut rumah dengan istilah "papan" (lembaran kayu). Seorang pekerja migran yang menguasai ketrampilan sebagai tukang kayu dibutuhkan banyak orang. Jasanya diperlukan untuk membuat kusen-kusen, pintu, jendela, almari dan berbagai perabot rumah tangga.
Keempat, Pisau Kain.
Yaitu berupa gunting, alat untuk memotong kain. Setiap insan membutuhkan pakaian untuk melindungi badan dan mempercantik penampilan. Seganteng apapun pria dan secantik apapun wanita, jika telanjang badan tanpa pakaian berjalan di pinggir jalan, pasti dianggap sebagai orang gila, edan, tidak waras.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.