Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Pendidikan

Muhammad Budi Zakia Tunjukkan Seni Khas Banjarmasin Bernama Madihin Saat Pameran Data Pendidikan

Pada tradisi masyarakat Jawa Tengah, khususnya pesisir, hiburan diisi dengan musik dangdut dan maupun koplo.

Penulis: amanda rizqyana | Editor: raka f pujangga
Tribun Jateng/Amanda Rizqyana
Muhammad Budi Zakia Sani, mahasiswa Program Doktor (S3) Pendidikan Seni Universitas Negeri Semarang (Unnes) menceritakan tentang Madihin, tradisi seni dan sastra lisan dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada gelaran Pameran Data Pendidikan Seni Artchipelagos yang dilaksanakan pada Rabu (24/5/2023) hingga Kamis (25/5/2023) di Kampung Budaya, Kampus Unnes Sekaran, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang. 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Pada tradisi masyarakat Jawa Tengah, khususnya pesisir, hiburan diisi dengan musik dangdut dan maupun koplo.

Musik yang identik dengan ketukan kendang dan biasanya menggunakan lirik Bahasa Jawa hadir sebagai hiburan di masyarakat.

Tak jauh berbeda dengan penggunaan alat musik perkusi berbahan kulit, di Banjarmasin juga terdapat Madihin.

Baca juga: Electroma dan Rafi Sudirman Ajak Penikmat Seni Nyanyikan Lagu-lagu Nusantara dalam Indonesia Keren

Bedanya, Madihin yang pada masa lampau dikenal sebagai tradisi sastra lisan di masyarakat Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Muhammad Budi Zakia Sani, mahasiswa Program Doktor (S3) Pendidikan Seni Universitas Negeri Semarang (Unnes) menceritakan tentang Madihin.

"Madihin merupakan seni yang di Banjarmasin, masuk sekitar abad ke 17, setelah masuknya ajaran Islam di Banjarmasin, dan menggunakan Bahasa Melayu Banjar," ujarnya pada Tribun Jateng.

Hasil data pendidikannya tersebut dipamerkan pada gelaran Pameran Data Pendidikan Seni Artchipelagos yang dilaksanakan pada Rabu (24/5/2023) hingga Kamis (25/5/2023) di Kampung Budaya, Kampus Unnes Sekaran, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang.

Ia bahkan mempraktikkan langsung pertunjukan Madihin pada Tribun Jateng dengan memukul alat semacam rebana khas Banjarmasin bernama tarbang atau terbang.

"Assalamualaikum, hari ini saya ucapkan. Pameran data telah dilaksanakan. Pascasarjana ini ditempatkan. Di Kampung Budaya Unnes diadakan. Telah meriah ini dilaksanakan. Wawancara juga sudah dilaksanakan. Semoga positif ini kegiatan," dendangnya.

Menurut Budi, saat seni tradisional lain yang tenggelam pascamodernisasi, terlebih dengan perkembangan teknologi dan sosial media, Madihin justru hidup subur di tengah modernitas masyarakat.

Dengan perkembangan teknologi yang menghadirkan visual berupa video, Madihin justru semakin dikenal luas dalam masyarakat.

Seni ini dihadirkan saat pernikahan, kegiatan masyarakat, juga dihadirkan sebagai bagian dari hiburan di tengah kegiatan akademis seperti seminar.

Terminologi Madihin berasal dari Bahasa Arab yakni madah yang bermakna nasihat.

Sesuai asal katanya, Madihin awalnya digunakan sebagai bahan pemberi pesan dan nasihat pada masyarakat.

Madihin menyimpan pola rima dan syair di kepalanya dan dipresentasikan saat penampilan mereka, tanpa menggunakan persiapan.

"Pelaku Madihin tidak menyiapkan teks atau kerangka susunan kalimat saat menampilkan diri, mereka secara spontan memainkan irama alat musik, menyusun kata, hingga menentukan rima," terang Budi.

Pada perkembangannya, Madihin tak hanya memberikan nasihat, tetapi juga memberikan humor pada setiap penampilannya sebagai selingan.

Namun humor tersebut tidak direncanakan atau disengaja, melainkan dalam penampilan juga dihadirkan secara spontan.

Humor tersebut bebas, namun tidak boleh menyampaikan unsur pornografi atau seksual, menyalahi norma susila, maupun menyinggung suku, ras, dan agama.

"Kadang juga Mahidin melibatkan penonton untuk berinteraksi, memberi umpan-balik untuk meneruskan syair yang disampaikan," tambah Budi.

Berdasarkan proses berkarya pada Madihin, ia berkeinginan mempresentasikan seni ini untuk dapat dikaji sebagai bibit disertasinya.

Budi mempresentasikan data berjudul 'Kesenian Madihin di Banjarmasin: Perspektif Teori Multiple Intelligences Howard Gardner'.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Panitia Artchipelagos, Firdaus Azwar Ersyad menyatakan terdapat total 41 mahasiswa memamerkan data pendidikan mereka.

Terdapat 5 bidang ilmu, yakni tari, musik, rupa, rekam, dan teater yang berpartisipasi.

"Selain itu, terdapat juga mahasiswa yang menampilkan budaya daerahnya, mulai dari Aceh, Riau, Palembang, Surabaya, Semarang, Salatiga, Yogyakarta, Jepara, Banjarmasin, Makassar, hingga Lombok," terangnya.

Melalui pameran ini, Firdaus mengatakan bahwa karya ini nantinya tak hanya menjadi disertasi, melainkan dapat dikembangkan sebagai Intelectual Property (IP) atau Kekayaan Intelektual (KI) melalui video, poster, dokumentasi, maupun gerak tari yang dihasilkan.

Pada kesempatan yang sama, Dr. Agus Cahyono, M.Hum., selaku Kepala Program Studi Dokter Pendidikan Seni Semarang menyatakan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari mata kuliah Penyajian Data bagi mahasiswa semester 2.

Baca juga: Kemenag Batang Jaring Pelajar Ikuti Porseni MTs, Ada Seni Nasyid dan Stand Up Comedy

Pameran Data Pendidikan Seni bertajuk 'Digitalisasi Kebudayaan: Rekonstruksi Pendidikan Seni dalam Wacana Global' diadakannya pameran agar mahasiswa bisa mendapat gambaran dan persiapan dalam menentukan disertasi.

"Oleh karena itu kami dorong mahasiswa program doktor pendidikan seni angkatan untuk mendapatkan data awal meskipun nanti bisa juga dapat topik disertasi itu berubah," ujarnya.

Meski demikian, ia berharap mahasiswa dapat berkonsentrasi mengawali data yang telah ia peroleh, baik data narasi, visual, audio, foto, maupun bentuk data lainnya. (arh)

 

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved