Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Tim Ekspedisi Indonesia Baru Singgah di Semarang: Berbagi Derita di Zona Konflik

Tim Ekspedisi Indonesia Baru (EIB) singgah di Kota Semarang. Tim ekspedisi tersebut digawangi dua jurnalis senior Farid Gaban (62) dan Dandhy Laksono.

|
Penulis: iwan Arifianto | Editor: rival al manaf

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG -Tim Ekspedisi Indonesia Baru (EIB) singgah di Kota Semarang.

Tim ekspedisi tersebut digawangi dua jurnalis senior Farid Gaban (62) dan Dandhy Laksono (47).

Ditambah dua anak muda Benaya Harobu (22) serta Priambodo Yusuf (30).

Mereka mampir di kota Semarang untuk meramaikan bioskop warga yang memutar dua film karya mereka selama ekspedisi di Maring Maringngopi Semarang, Jumat (25/8/2023) malam.

Sudah setahun lebih tim EIB keliling Indonesia, mereka akan mengakhiri ekspedisi di Wonosobo tempat mereka mengawali ekspedisi pada 1 Juli 2022.

"Ekspedisi ini memang lebih dari satu tahun, persisnya sudah 420 hari," ucap anggota tim EIB, Farid Gaban kepada Tribun Jateng, Sabtu (26/8/2023) dini hari.

Molornya ekspedisi disebabkan oleh beberapa hal di antaranya kompleksnya persoalan di berbagai daerah yang mereka kunjungi sehingga membutuhkan waktu lebih lama.

Terlebih, ekspedisi tersebut menghasilkan film karya dokumenter yang membutuhkan riset, wawancara dan tugas lapangan lainnya yang menguras tenaga.

"Kami semuanya pernah sakit saat perjalanan, ada yang sampai sakit dua minggu," bebernya.

Mereka mengawali perjalanan dari Dieng lalu ke Wadas, Bener, Purworejo untuk meliput konflik tambang andesit.

Selepas itu, mereka melanjutkan perjalanan dengan empat motor bebek khas ekspedisi tersebut ke wilayah Jawa Timur, Bali, Lombok, Flores, hingga kembali lagi ke Jawa Tengah.

"Motor kami sudah menempuh jarak 11 ribu kilometer untuk bikin film dokumenter dari berbagai konflik," jelasnya.

Perjalanan setahun lebih tersebut, mereka telah berbelanja masalah dari beragam isu mulai tentang pertanian, nelayan, lingkungan, ekonomi, masyarakat adat, keanekaragaman hayati, isu pariwisata dan lainnya.

Masalah-masalah tersebut dirangkum dalam karya film dokumenter  seperti Angin Timur, Silat Tani, Tanah Tabi, dan The Soulmates.

"Tak semua film diproduksi dalam perjalanan, ada beberapa film yang nantinya diproduksi selepas perjalanan seperti soal isu geotermal, sawit. Kami susuan pula nantinya dalam bentuk buku," bebernya.

Bagi Farid, hal terberat dalam ekspedisi bukan pada perjalanan mengendarai sepeda motornya melainkan membuat film dokumenter di wilayah konflik.

Mereka mendatangi wilayah yang masih sengkarut dengan  persoalan di antaranya tambang, pariwisata,dan  sawit.

Ketika di kondisi seperti itu tak hanya energi fisik tetapi energi jiwa juga ikut terkuras.

"Mendengar berbagai cerita sedih membutuhkan energi lebih besar. Itu tantangannya. Namun, kami juga naik gunung Rinjani, menyelam di Maluku dan Aceh, itu healing," katanya.

Gabungkan Dua Ekspedisi

Ekspedisi Indonesia Baru merupakan gabungan dua ekspedisi sebelumnya yakni ekspedisi Zamrud Khatulistiwa yang digagas Farid Gaban bersama Ahmad Yunus pada tahun 2009. 

Enam tahun kemudian, Dhandy Laksono melakukan ekspedisi serupa bersama Ucok atau Suparta lewat ekspedisi Indonesia Biru di tahun 2015. 

"Dua ekspedisi tersebut sama-sama naik motor. Nah, kami coba gabungin. Ada tambahan dua anak muda. Kami ingin melihat Indonesia dari generasi yang berbeda," cetus Farid.

Tim ekspedisi tersebut cukup lengkap dari segi usia karena mewakili empat generasi berbeda mulai dari generasi boomer, X, milenial, dan Z.

Ia menyebut, pembeda dari dua ekspedisi sebelumnya adalah soal solusi. 

Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa dan Indonesia Biru lebih ke identifikasi masalah. 

Untuk ekspedisi kali ini, timnya mencoba menawarkan solusi dari konflik yang ada.

Ambil contoh film Silat Tani  yang mengkritik kebijakan pertanian tetapi juga memberi solusi lewat koperasi tani.

Begitupun tergambar dalam serial film Dragon for Sale yakni mengulas ambisi pemerintah dalam upaya menciptakan 10 Bali Baru di berbagai daerah. "Kami menawarkan solusi pengembangan  wisata iut berbasis komunitas bukan investasi besar-besaran," tegasnya.

Ia menambahkan, Jawa Tengah sebagai tempat mengawali dan mengakhiri ekspedisi tentu ikut terekam dalam ekspedisi ini terutama pada isu pertanian, energi geotermal di Dieng, problem nelayan Karimunjawa.

"Meskipun tidak menyeluruh tetapi kami coba soroti isu energi, pertanian, dan pesisir. Ke depan, nantinya ekspedisi ini bisa dilanjutkan oleh para anak muda," ucapnya.

Perwakilan Aliansi International Womens Day (IWD) Semarang, Lita Aghata mengatakan, karya film Dragon for Sale dari Ekspedisi Indonesia Baru menunjukkan ruang masyarakat banyak dirampas di antaranya tanah adat.

Menciptakan 10 Bali Baru dengan kelompok marjinal yang lemah dan miskin sebagai korban.  Sebaliknya, segelintir oligarki mendapatkan keuntungan.

Namun, dalam film dokumenter tersebut terekam perempuan  ternyata tak tidak tinggal diam dalam pusaran konflik. "Semangat itu harusnya menjadi motivasi gerakan di kota Semarang," paparnya. (Iwn)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved