Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Tegal

Pelaut dan Agen ABK di Tegal Ajukan Judicial Review UU Pekerja Migran Indonesia ke MK

Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I) dan PT Mirana Nusantara Indonesia (MNI) selaku agen awak kapal

Penulis: Desta Leila Kartika | Editor: muh radlis
TRIBUNJATENG/Desta Leila Kartika
Ketua Umum AP2I Imam Syafi'i (dua dari kiri), bersama kuasa hukumnya Fatkhur Siddiq (ujung kiri), dan kuasa hukum Direktur PT Mirana Nusantara Indonesia Ahmad Faisal (ujung kanan), saat mengadakan konferensi pers dan menunjukkan surat yang ditujukan ke Mahkamah Konstitusi. Bertempat di Vannamei Seafood Restaurant, Kota Tegal, Selasa (12/9/2023). 

TRIBUNJATENG.COM, TEGAL - Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I) dan PT Mirana Nusantara Indonesia (MNI) selaku agen awak kapal, mengajukan Judicial Review (Pengujian Yudisial) UU Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Mahkamah Konstitusi (MK).


Hal itu terungkap, dalam konferensi pers yang digelar oleh Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I) dan PT Mirana Nusantara Indonesia (MNI), di Vannamei Seafood Restaurant, Kota Tegal, Selasa (12/9/2023). 


Dalam konferensi tersebut, Ketua Umum AP2I Imam Syafi'i, mengungkapkan alasan mengapa pihaknya sampai mengajukan Judicial Review (Pengujian Yudisial) ke Mahkamah Konstitusi. 


Hal itu, karena penerapan UU No 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) dinilai merugikan secara konstitusi bagi kalangan pelaut dan agen awak kapal. 


Pasalnya, terjadi tumpang tindih antara UU Pekerja Migran dan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang berdampak pada hilangnya kewenangan pelaut saat bekerja di perairan.
 
Sehingga pada kesempatan itu, Imam menegaskan pihaknya resmi mengajukan judicial review UU Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan PMI ke Mahkamah Konstitusi. 


"Kami memandang, UU Nomor 18 Tahun 2017 materi Pasal 4 ayat (1) huruf c merugikan kepentingan pelaut dan keagenan awak kapal (manning agency), dimana mengkategorikan pelaut sebagai pekerja migran. Hal tersebut akan berdampak dikesampingkannya beberapa undang-undang, sebagaimana asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis yang berarti hukum khusus menyampingkan hukum umum,'' ungkap Imam Syafi'i, pada Tribunjateng.com. 


Selain itu, lanjut Imam, ada kerugian dan ketidakpastian hukum terhadap pelaut.


Salah satunya adalah dengan beralih atau diklaim pelaut yang bekerja di luar negeri sebagai bagian pekerja migran. 


Maka segala aturan dan ketentuan yang berkaitan dengan pelaut mengikuti aturan dan ketentuan pekerja migran. 


Bahkan, menurut Imam pada dasarnya aturan dan ketentuan antar pelaut sudah diatur secara khusus. 


Termasuk pada konvensi internasional terkait dengan kedudukan pelaut.


Padahal dalam klausul Pasal 4 ayat (1) huruf c UU Nomor 18 Tahun 2017, tentang pengawasan dan penerbitan izin perekrutan dan penempatan pelaut menjadi kewenangan mutlak Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). 


"Sehingga karena pelaut berhubungan langsung dengan transportasi laut, maka seharusnya menjadi kewenangan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang memiliki tugas menyelenggarakan keselamatan dan keamanan angkutan perairan dan pelabuhan, bukan masuk sebagai bagian pekerja migran," tegas Imam.  


Masih di lokasi yang sama, kuasa hukum Imam Syafi'i yaitu Fatkhur Siddiq, menerangkan bahwa terdapat dampak tumpang tindih regulasi pada Pasal 4 ayat (1) huruf c UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. 


Baik pada tingkatan undang-undang yaitu berbenturan dengan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, sampai tingkatan Peraturan pelaksanaannya yaitu PP Nomor 31 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran. 

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved