Opini
Menyimak Ganjar Pranowo dari Narasi dan Gestur Motivasi
Ganjar Pranowo, salah satu calon presiden, tidak menghargai (atau bahkan melecehkan) profesi MC dan wartawan?
Oleh: Amir Machmud NS
SECEPAT itukah kita menyalahpahami narasi dan gestur seseorang?
O, kenalilah dulu pemaknaannya.
Sesegera itukah kita bisa melihat sifat asli seseorang yang mencuat sebagai “bawah sadar” dari sebuah pernyataan?
O, kenalilah dulu kekhasan keakraban yang dia bawa.
Benar-benar sedang “terpelesetkah” dia, sehingga tanpa disadari menyampaikan “blunder” pernyataan yang seharusnya tidak penting-penting amat?
Atau jangan-jangan seperti itukah cara dia memberi motivasi, membungkusnya dengan (seolah-olah) sarkasme tetapi sejatinya memuat makna edukasi?
Ya, ayo kita simak petikan Mata Najwa, di UGM, 19 September 2023 ini.
Ganjar: Apa sebenarnya yang terjadi? Maka kenapa kemudian saya bicara, vokasi mesti disiapkan, anggaran ditambah, guru pengajar diberikan penghasilan yang baik. Mbak, Mbak, ya 10 besar lulusan terbaik itu jadi dosen. Ya dong, masak jadi MC?
Najwa: Siapa mas MC? Saya jurnalis, bukan MC. Bukan.
Ganjar: Bukan ya, jurnalislah kalau gitu.
Najwa: Dan jurnalis profesi yang membanggakan lho mas. Oh...
Ganjar: Oh iya. Maksud saya kalau mbak lulusan 10 terbaik, kalau kemudian lulusan terbaik kan sebuah harapan bahwa dia kembali ke kampus dan mengajarkan ilmunya. Itu saja sebenarnya.
Wawancara itu kini viral di media sosial. Nah, akan secepat itukah kita menyimpulkan, Ganjar Pranowo, salah satu calon presiden, tidak menghargai (atau bahkan melecehkan) profesi MC dan wartawan? Dalam narasi itu, secara tekstual dia terkesan lebih menghargai dosen ketimbang dua profesi tersebut. Jangan-jangan, pemikiran bawah sadarnya memang menarasikan pendapat seperti itu?
Tentu sah-sah saja apabila muncul ketersinggungan dari kalangan profesi MC dan wartawan. Ganjar pun segera “meralat” dengan memberti aksen “maksud saya”. Artinya, kita bisa menangkap “keterpelesetan” dari narasinya, yang bukan dimaksudkan untuk merendahkan profesi yang “di luar dosen”.
Dalam pandangan saya, dari kalimat “diberi penghasilan yang baik” itu, Ganjar juga paham pentingnya jurnalis mendapat penghasilan yang memberi jaminan menyejahterakan. Artinya, terdapat aksen ikut memikirkan pendapatan wartawan.
Dari interaksi selama hampir 10 tahun di Jawa Tengah, sebagai wartawan saya termasuk yang berkesimpulan bahwa Ganjar Pranowo menghargai setiap profesi. Dia dekat dengan para wartawan. Tak sekali dua kali secara personal dia menghubungi saya untuk meminta pendapat tentang dinamika di dunia media.
Ganjar dekat dengan sejumlah kalangan dari beragam profesi. Dengan kalanangan sopir truk pun dia dekat, dengan penyapu jalan, petani, dan lain-lain. Jadi saya berpendapat, tak pernah ada maksud untuk merendahkan profesi apa pun ada saat hadir dalam acara Mata Najwa di UGM, 19 September lalu.
Aksentuasi dari apa yang disampaikan kepada Najwa Shihab, menurut saya, adalah gestur dia untuk memotivasi, dengan harapan agar para lulusan terbaik dapat kembali ke kampus dan mengajarkan ilmunya, untuk ikut menciptakan SDM berkualitas, terutama terkait dengan upaya mewujudkan Indonesia Emas 2050. (*)
--- Amir Machmud NS; wartawan senior dan dosen
| Kampus: Wahana Kaderisasi Pemimpin Bangsa |
|
|---|
| Bukan Lagi Sembako, Tapi Bahan Nasi Goreng yang Pengaruhi Ekonomi Indonesia |
|
|---|
| Janji Manis Makan Bergizi Gratis: Antara Populisme dan Realita Pahit |
|
|---|
| Strategi Komunikasi Digital: Membangun Pesan Efektif dan Berdaya Saing Global |
|
|---|
| Menghidupkan Tradisi Bertanya di Kelas |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/Amir-Machmud-NS-wartawan-senior-dan-dosenfd453465.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.