Gibran Maju Pilpres, Survei Kompas Ungkap Publik Memandang Negatif Politik Dinasti
Survei Litbang Kompas mencatat sebanyak 60,7 persen menyatakan "ya" soal terpilihnya Gibran untuk melaju ke pilpres sebagai bentuk politik dinasti
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Survei Litbang Kompas menunjukkan sebanyak 60,7 persen responden menyebut majunya Wali Kota Solo yang merupakan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, ke pilpres 2024 merupakan bentuk politik dinasti.
Seperti diketahui, Koalisi Indonesia Maju (KIM) telah mendeklarasikan Gibran sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres) yang diusung untuk mendampingi Prabowo Subianto di pilpres 2024.
KIM tercatat merupakan koalisi terbesar saat ini, terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelora, dan Partai Prima.
Dikutip dari survei Litbang Kompas pada Senin (23/10), sebanyak 60,7 persen menyatakan "ya" ketika ditanya terpilihnya Gibran untuk melaju ke pilpres sebagai bentuk politik dinasti. Sementara itu, 24,7 persen lainnya menyatakan bukan bentuk politik dinasti, dan 14,6 persen responden menyatakan tidak tahu.
"Bagaimanapun, wacana soal politik dinasti masih dipandang negatif oleh publik. Sebagian besar responden memandang politik dinasti ini cenderung lebih mengedepankan kepentingan (politik) keluarga dibandingkan dengan kepentingan masyarakat," kata peneliti Litbang Kompas, Yohan Wahyu, Senin (23/10).
Meski demikian, menurut dia, sebagian besar responden juga menilai larangan terkait dengan politik dinasti sebagai bentuk membatasi hak politik orang lain.
Sebanyak 47,2 persen menyatakan demikian, sedangkan 41,9 persen menyatakan sebaliknya. Sementara 10,9 persen lainnya menyatakan tidak tahu.
Yohan menuturkan, praktik politik dinasti sudah terlihat ketika Gibran dan menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution, berlaga di pemilihan kepala daerah Kota Solo dan Kota Medan pada 2020.
Namun, isu itu belum begitu muncul, karena keduanya dipilih melalui kompetisi langsung, meski pesaing Gibran kala itu berasal dari calon perseorangan yang disebut-sebut sebagai pasangan calon "boneka", disiapkan khusus melawan Gibran.
Fenomena politik dinasti cenderung menguat usai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait dengan usia minimal capres-cawapres dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilu pada Senin (16/10) lalu.
Dengan begitu, MK membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah, atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
"Hal ini juga diperkuat dengan reaksi negatif dari sejumlah kalangan, termasuk dari mereka yang sebelumnya menjadi pendukung Jokowi," jelas Yohan.
Sebagai informasi, survei itu dilakukan dengan pengumpulan pendapat melalui telepon pada 16-18 Oktober 2023. Sebanyak 512 responden dari 34 provinsi berhasil diwawancara. Sampel ditentukan secara acak dari responden panel Litbang Kompas sesuai proporsi jumlah penduduk di tiap provinsi.
Penggunaan metode ini memiliki tingkat kepercayaan 95 persen, margin of error penelitian lebih kurang 4,35 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.
Meski demikian, kesalahan di luar pengambilan sampel dimungkinkan terjadi. Pengumpulan pendapat sepenuhnya dibiayai oleh Harian Kompas (PT Kompas Media Nusantara).
Adapun, bakal capres KIM Prabowo Subianto merespon tudingan politik dinasti Presiden Jokowi. Menurut dia, politik dinasti dengan berbakti untuk rakyat tak ada salahnya.
"Dinasti, semua dinasti bung. Kita jangan cari yang negatif, cari yang positif. Orang ingin berbakti apa salahnya?" tukasnya, kepada awak media, di Hotel Darmawangsa Jakarta, Senin (22/10).
Prabowo mengatakan bahwa dirinya juga politik dinasti. Ia menyebut soal ayahnya dan pamannya yang berbakti untuk rakyat.
"Saya juga dinasti. Saya anaknya Soemitro. Paman saya gugur untuk Republik Indonesia. Kami dinasti merah putih, kami dinasti patriot," tandasnya.
Ia pun mengungkapkan bahwa dirinya merupakan dinasti yang ingin mengabdi untuk rakyat. "Kami dinasti patriot yang ingin mengabdi untuk rakyat. Kalau dinasti Pak Jokowi ingin berbakti untuk rakyat, kenapa, salahnya apa?" bebernya.
Ketua Umum Partai Gerindra itupun mengajak semua pihak untuk berpikir yang positif. "Jadi berpikir yang baik, berpikiran positif," ujarnya.
Sementara, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti mengkritik pernyataan Prabowo Subianto yang menyebut dinasti Presiden Jokowi tidak masalah ketika tujuannya adalah untuk berbakti ke rakyat.
Ia menyebut, Prabowo salah memahami soal definisi dinasti politik dalam konteks mengomentari dinasti Jokowi.
"Mungkin Pak Prabowo salah memahami ya dinasti politik dengan keluarga. Kalau dari jawabannya, Pak Prabowo kesannya itu dinasti politik sama saja dengan keluarga. Padahal beda, ada terminologinya dalam ilmu politik dan hukum tata negara," ucapnya.
"Dinasti politik itu adalah pada saat orang-orang yang punya hubungan kekerabatan langsung, dan pada saat keluarganya sedang menjabat, mengambil keuntungan politik dari posisi keluarganya itu untuk menguatkan jaringan politik keluarga itu," jelasnya, saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (23/10).
Bivitri menegaskan, dinasti politik tidak dibenarkan meski dengan alasan seperti yang diungkapkan Prabowo, yaitu berbakti kepada rakyat, jika dilihat dari sudut pandang hukum tata negara atau ilmu politik.
Ia pun mencontohkan ketika dinasti politik langgeng di tengah masyarakat perlu dinilai pula apakah cara tersebut sudah sesuai dengan prinsip etika politik atau tidak. Selain itu, dinasti politik yang dilanggengkan apakah juga merusak sistem tata negara atau tidak.
"Intinya harus disadari bahwa politik dan tata negara itu ukurannya bukan berbakti atau tidak berbakti untuk bangsa. Ukurannya harus selalu apakah ada prinsip-prinsip etika politik yang dilanggar, apakah mereka merusak sistem atau tidak," tandasnya. (Kompas.com/Fika Nurul Ulya/Tribunnews.com/Rahmat Fajar Nugraha/Yohanes)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.