Berita Semarang
Nasib Hutan Mangrove di Pesisir Semarang Jawa Tengah: Dikejar Abrasi, Dihantam Oligarki
Hutan mangrove tampak memanjang ratusan meter persis di sisi timur Kawasan Industri Terboyo, Kecamatan Genuk, Kota Semarang.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: raka f pujangga
TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Hutan mangrove tampak memanjang ratusan meter persis di sisi timur Kawasan Industri Terboyo, Kecamatan Genuk, Kota Semarang.
Sesekali burung Blekok hilir mudik lalu hinggap di pundak pohon magrove setinggi sekira 7 meter.
Di sebelah timur hutan mangrove itu, seorang nelayan tampak asyik dengan jaring ikan, tangannya cekatan mengambil ikan hasil tangkapan.
Baca juga: 1.500 Bibit Mangrove Ditanam di Pantai Maron Kota Semarang
Suguhan pemandangan alam tersebut hanya ditanggapi dengan hembusan nafas panjang oleh nelayan pesisir Semarang, Agus Isnaini (44).
Ia mahfum, hutan mangrove tersebut yang telah ditanamnya sejak 20 tahun lalu bakal dibabat habis demi proyek pembangunan tol Semarang-Demak.
"Ya ibarat sudah seperti anak sendiri, hutan mangrove ini dirawat dari bibit kecil hingga sekarang tumbuh besar. Sayang, sebentar lagi mau ditebangi," ucapnya kepada Tribun Jateng, Jumat (14/7/2023).
Pembabatan hutan mangrove di proyek tol Semarang-Demak adalah bagian dari contoh inkonsistensi pemerintah dalam gembar-gembor melakukan konservasi mangrove.
Namun, di sisi lain mereka merusaknya.
Nasib hutan mangrove saat ini di ujung tanduk imbas pembangunan jalan tol sekaligus menjadi tanggul laut. Hutan mangrove tersebut akan habis dalam Pembangunan jalan tol ini.
Pemerintah pusat menargetkan rehabilitasi mangrove seluas 600.000 hektare (Ha). Begitupun pemerintah provinsi Jawa Tengah yang menargetkan rehabilitasi mangrove seluas 750 hektare melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 24 Tahun 2019.
Sejurus dengan hal itu, pemerintah mengancam keberlangsungan ekosistem mangrove seluas 42,7 hektare dengan adanya pembangunan tol Semarang-Demak. Belum lagi terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 tahun 2022 yang menjadi karpet merah pembangunan kawasan industri di pesisir utara wilayah Jawa Tengah.
“Semisal hutan mangrove ini hilang sumber nafkah kami juga hilang tetapi misal tidak ikhlas atau melawan nanti berbenturan dengan pemerintah, mau tidak mau diam saja. Mau gimana lagi, kami orang kecil,” sambung Agus.
Ia mengaku, telah menanam hutan mangrove tersebut bersama belasan nelayan dari dua kelurahan yakni Terboyo Wetan dan Trimulyo.
Mereka menanam mangrove tersebut di atas lahan milik warga sekitar. Bibit mangrove ditanam di atas lahan bekas tambak.
“Kami merasa sudah melakukan perjuangan untuk lingkungan hanya saja dari pemerintah yang kurang memperhatikan,” tutur warga Terboyo Wetan ini.
Perkiraannya jumlah bibit yang ditanam di hutan mangrove tersebut dulunya mencapai ratusan ribu bibit yang memanjang di pesisir dua kelurahan antara Terboyo Wetan dan Trimulyo.
Proyek penanaman mangrove tersebut berhasil sebelum tergusur akibat proyek Kawasan industri Terboyo.
Nasib Hutan mangrove itu saat ini di ujung tanduk imbas pembangunan jalan tol sekaligus menjadi tanggul laut.
“Luasan hutan mangrove yang tersisa tinggal tinggal 5 hektare lebih,” ujarnya.
Informasi yang diterima Agus, kawasan hutan mangrove di Trimulyo yang akan dibabat pemerintah seluas 5 Hektare (Ha). Pembabatan hutan mangrove tersebut belum tahu kapan akan dilakukan.
Pihaknya juga sudah berhenti menanam bibit mangrove setahun lalu ketika ada pengerukan sedimentasi Kali Babon. Ditambah ada proyek tanggul laut yang sudah mulai dikerjakan.
Para nelayan berpendapat percuma ditanami mangrove sebab nantinya tergerus proyek tol dan polder.
“Kabarnya pemerintah akan tanam mangrove sebagai gantinya tetapi di Demak bukan di semarang. Ini kan aneh yang dihilangkan di Semarang malah tanamnya di Demak,” tuturnya.
Padahal selama ada mangrove nelayan memperoleh beberapa manfaat seperti tangkapan ikan stabil lantaran mangrove menjadi tempat ikan bertelur.
Kemudian sebagai penahan gelombang dan angin kencang, abrasi serta lainnya.
Tak hanya itu, hutan mangrove tersebut dimanfaatkan pula sebagi wisata berupa joging track dan gardu pandang.
Pemanfaatan kayu mangrove untuk tanggul hibrid. Sedangkan buah mangrove diambil warga sebagai bahan pembuatan makanan ringan.
“Banyak manfaat dari hutan mangrove untuk warga pesisir tetapi ketika ada proyek seperti ini kita bingung. Mau gimana, ga bisa apa-apa,” jelasnya.
Dampak pembangunan tol di pesisir ternyata tak butuh waktu lama, penghasilan para nelayan di dua kelurahan tersebut kini sudah turun drastis.
Sebelumnya, nelayan dalam sehari mampu mengantongi pendapatan bersih sekitar Rp200-Rp300 ribu perhari.
Namun, pendapatan mereka saat ini di angka Rp100 ribu, itupun diperoleh dengan susah payah. Turunnya pendapatan mereka lantaran sumber nafkah mereka terenggut setelah adanya proyek tol.
Ditambah, mereka adalah nelayan harian.
Artinya, ketika melaut tidak sampai ke tengah perairan melainkan hanya di pinggiran. Sedangkan di pinggiran sedang ada proyek tol.
“Kejadian terakhir ada gesekan antara nelayan dengan pelaksana proyek tol terkait mangrove dan lokasi penangkapan warga. Mau cari ikan tidak boleh. Mendekat 100 meter saja disuruh pergi padahal lokasi itu tempat kami mencari ikan,” bebernya.
Agus khawatir ketika tol dibangun maka kawasan pesisir tempatnya mencari nafkah akan benar-benar lenyap.
Jenis ikan karapu, kakap, udang, kepiting hingga rajungan yang setiap saat ada bakal musnah digantikan bangunan beton.
Nelayan bisa saja melaut tetapi harus melaut lebih jauh.
Namun, otomatis mereka harus mengganti perahu dan peralatannya karena perahu dan alatnya sekarang hanya cukup untuk kebutuhan melaut di wilayah tepian atau tak lebih dari 1 kilometer dari pesisir.
“Mau alih profesi kerja apa? Nenek moyang kami pelaut, masak kerja di darat semua, terus siapa yang kerja di laut,” tegasnya.
Terpisah, Koordinator Lapangan (Korlap) kelompok Cinta Alam Magrove Asri dan Rimbun (Camar) Kelurahan Tanjung Mas, Semarang Utara, Zazid (49) mengatakan, kelompoknya tak setuju dengan berbagai bentuk proyek pembangunan di wilayah pesisir Semarang terutama saat harus menggusur hutan mangrove.
Meski begitu, ia tak bisa berbuat banyak sehingga hanya bisa berkompromi dengan keadaan.
"Misal kita melawan ditanya legalitasnya? Kita kalah sebab lahan mangrove yang kita tanam itu bukan milik kita pribadi tapi dikuasai swasta maupun pemerintah," katanya.
Ia mencontohkan ketika adanya proyek pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) yang berimbas pada hilangnya kawasan hutan mangrove.
Kala itu, petani mangrove dan nelayan tak bisa apa-apa.
Mereka dipaksa ikhlas meski harus menyadari mereka telah kehilangan sebagian ruang penghidupan.
Mereka juga dipaksa melakukan proyek pemerintah berupa reboisasi mangrove dengan dalih menggantikan hutan mangrove yang telah dibabat habis.
"Hasilnya reboisasi gagal imbas gerusan gelombang yang tinggi," tuturnya.
Kelompoknya sudah menanam mangrove sejak 2011 hasilnya saat ini sudah ada 2 hektare hutan mangrove menjadi dinding alami penahan abrasi di timur kawasan industri Lamicitra dan pelabuhan Tanjung Emas.
Ia pun ketar-ketir ketika mendengar pesisir Semarang bakal menjadi sasaran tembak pembangunan beragam proyek dalam paket PSN.
"Pemerintah seharusnya tidak hanya membangun tetapi harus memikirkan kawasan hijau dan pemanfaatannya ekonomi masyarakat pesisir," harapnya.

Proyek Tol, Jalan Tanpa Hambatan untuk Babat Hutan Mangrove
Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Tengah, dampak pembangunan jalan tol Semarang-Demak merusak hutan mangrove seluas 42,7 Ha.
Hutan mangrove terdampak langsung dari pembangunan seluas 14,1 ha, dan dampak tidak langsung seluas 28,5 ha.
Rinciannya, wilayah terdampak di Trimulyo meliputi dampak langsung seluas 12,4 ha, dan tidak langsung seluas 21,9 ha.Kemudian di Sayung, Kabupaten Demak, terdampak langsung 1,6 ha tidak langsung 6,4 hektare.
Wilayah Bedono, Kabupaten Demak, terdampak langsung 0,15 hektare, tidak langsung 0,15 hektare.
Upaya pemerintah dalam merelokasi magrove demi jalan tol bukanlah langkah yang tepat.
Hal itu diungkapkan oleh Peneliti Teran Yohana Putri dan Fitri Liana Dewi dalam riset yang diterbitkan Jurnal Pendidikan Dan Konseling (JPDK) tahun 2023.
Dalam penelitian mengungkapkan, upaya relokasi hutan mangrove di daerah yang akan diambil untuk jalan tol merupakan langkah tidak efektif.
Perlu ada kajian kembali mengenai pernyataan akan keberhasilan dan keefektifan pemindahan mangrove yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pembangunan jalan tol tanggul laut Semarang-Demak.
Sebab, pada kenyataannya hal ini mustahil dilakukan.
Selain itu, pada awal perencanaan pembangunan tol tanggul laut Semarang-Demak ini semestinya pemerintah mempertimbangkan lokasi yang lebih tepat yang tentunya tidak akan mengorbankan keberadaan dari tempat tinggal mangrove tersebut.
"Mengingat pula bahwasanya sekarang ini sebenarnya pemerintah sedang menggalakan program mangrove dan dijadikan program yang prioritas dikarenakan manfaatnya yang sangat banyak, terlebih di kota Semarang banyak terdapat program penanaman mangrove. Hal ini tidak selaras dengan apa yang dikorbankan untuk pembangunan jalan tol tanggul laut Semarang-Demak ini," tulis riset tersebut.
Sementara, Pakar mangrove dari Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Diponegoro, Rudhi Pribadi mengatakan, secara umum mangrove di pantura Jawa khususnya Semarang sudah mengalami degradasi dari tahun 1920 akibat pembukaan lahan tambak.
Kemudian, proses penanaman yang serius dilakukan untuk mengatasi degradasi mangrove dilakukan pada rentang tahun 1990 hingga 2000 sehingga usia magrove di rentang 10 hingga 30 tahunan.
Artinya, mangrove dahulu telah terdegradasi sehingga mangrove yang ada sekarang mayoritas adalah hasil penanaman atau jerih payah warga pesisir maupun aktivis peduli lingkungan, dan pihak-pihak lainnya.
"Mayoritas hutan mangrove sekarang memang hasil dari ditanam," paparnya kepada Tribun.
Ia menyayangkan adanya proyek pembangunan tol Semarang-Demak lantaran akan menghilangkan ekosistem mangrove di kota Semarang.
Hutan mangrove ada yang alami kerusakan secara langsung akibat dibabat untuk proyek kolam retensi atau bagian dari sistem polder.
Sedangkan jalan tol memberikan dampak kerusakan tidak langsung karena efek tidak masuknya air laut imbas tertutup tanggul tol.
"Tentu saja harapannya ekosistem mangrove akan selalu ada. Sebab, manfaat ekosistem magrove sangat banyak tak hanya secara fisik tetapi secara ekologi dan ekonomi," katanya.
Terkait solusi pemerintah dengan melakukan relokasi mangrove, menurutnya, langkah pemerintah melakukan relokasi atau re-vegetasi mangrove bakal menghadapi beberapa kendala.
Hal itu dapat terjadi lantaran magrove memerlukan ekosistem khusus seperti pasang surut air laut, sedimentasi dan lainnya.
"Sementara di kota Semarang sudah tidak ada lahan magrove yang ideal," paparnya.
Relokasi rencananya dilakukan di luar wilayah kota Semarang.
Imbasnya, langkah tersebut menimbulkan kontradiksi seperti dari petani mangrove Semarang dan Dinas Perikanan Kota Semarang menyayangkan perpindahan lokasi mangrove ke wilayah lain.
Begitupun selepas relokasi, hal itu tidak secara otomatis menggantikan fungsi hutan mangrove sepenuhnya.
Artinya, ekosistem baru masih butuh waktu lama untuk menggantikan fungsi hutan yang lama.
"Itu kan mulai dari nol lagi, jadi kalau mau dibandingkan tidak apple to apple. Namun, Mungkin harapan pemerintah secara luasan itu bisa sebagai pengganti," cetusnya.
Lahan relokasi mangrove imbas pembangunan jalan tol Semarang-Demak rencananya dilakukan di sebelah kiri dan kanan Banjir Kanal Timur (BKT). Kemudian di Sidogemah, dekat pintu tol dan Betah walang, Demak.
Lokasi Sidogemah masih berupa perairan sehingga relokasi ke tempat tersebut perlu dilakukan pengerjaan pendangkalan terlebih dahulu.
Sebaliknya, di Betah Walang berupa daerah sedimentasi yang terdapat pasang surut air laut sehingga ideal untuk mangrove.
"Hanya saja di sana tampaknya sudah ada beberapa institusi merencanakan kegiatan penanaman sehingga dibutuhkan pengaturan pembagian lahan," terangnya.
Ia menjelaskan, rencana pemindahan ke empat lokasi tersebut belum sampai tahap rancangan teknis atau hanya masih sebatas wacana.
Padahal dibutuhkan detail teknis untuk proses relokasi dari penataan ekosistem baru mulai dari siapa yang menanam, siapa yang memelihara, hingga memastikan status lahan.
"Itu yang sampai saat ini belum dibicarakan.
Idenya seperti itu, tetapi detail teknis ya perlu dibicarakan lebih jauh," bebernya saat ditemui di ruang kerjanya pada pertengahan Juli 2023.
Ia menilai, proyek relokasi mangrove yang dicanangkan pemerintah memiliki tingkat kegagalan yang tinggi.
Selain kesulitan mencari lahan pengganti di Semarang dan Demak yang memang sudah parah digerus abrasi, merawat magrove tetap hidup bukan persoalan gampang.
Sarannya, sebagai antisipasi sebaiknya dilebihkan luasan dan jumlah bibit mangrove yang hendak direlokasi.
Setidaknya Pemerintah butuh sebanyak 460.000 bibit pohon mangrove sebagai pengganti pohon mangrove yang hilang di lahan seluas 46 hektare dampak dari pembangunan tol.
Angka tersebut diperoleh menggunakan standar kerapatan mangrove yang biasa ditanam pemerintah yakni jenis Rhizopora.
Umumnya setiap 1 ha lahan mangrove terdapat 10 ribu bibit tanaman.
"Setiap jenis mangrove berbeda, bibit jenis Avicennia jumlahnya bisa lebih dari itu," imbuhnya.
Selebihnya, re-vegetasi mangrove boleh dikatakan berhasil ketika mangrove bisa bertahan paling tidak umur tiga tahun.
"Umur mangrove 1-2 tahun masih fluktuatif. Artinya belum bisa dikatakan berhasil. Di rentang usia tersebut masih rawan yang dipengaruhi perubahan arus dan penyebab lainnya," jelasnya.

Pembabatan Mangrove di Tengah Ancaman Krisis Iklim
Manajer Kajian dan kampanye Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jateng, Patria Rizky Ananda menyayangkan proses relokasi hutan mangrove terdampak tol Semarang-Demak.
Pihaknya masih mempertanyakan lokasi tanam baru yang akan dilakukan pemerintah dan tingkat presentase keberhasilan dari proyek relokasi tersebut.
"Kebutuhan mangrove sangat besar sekali untuk mengatasi perubahan iklim tetapi pemerintah bertingkah sebaliknya dengan tidak melindungi mangrove malah membabatnya," ujarnya kepada Tribun, Selasa (1/8/2023).
Walhi menyayangkan langkah pemerintah yang melakukan pembabatan mangrove di tengah ancaman krisis iklim.
Dampaknya tentu lagi-lagi akan menyasar ke para nelayan.
Padahal mereka saat ini juga sudah kesusahan mencari sumber penghasilan di laut.Kondisi tersebut nantinya akan semakin parah ketika mangrove hilang.
"Lebih jauh pengaruhnya ke ketahanan pangan warga pesisir," jelasnya.
Tak heran, para nelayan sudah tidak mau anak-anaknya bekerja sebagai nelayan.Hal itu sudah tampak di kampung pesisir Tambakrejo, Kota Semarang.Para nelayan di sana menyuruh anaknya kerja di darat dengan mayoritas berbekal ijazah SMA.
"Kebanyakan mereka akhirnya kerja di pabrik, bengkel , pekerja bangunan dan lainnya. Misal kerja jadi nelayan akan lebih susah," tuturnya.
Ketidakberpihakan pemerintah baik daerah maupun pusat terhadap hutan mangrove sudah tampak dari segi regulasi.
Seperti yang dilakukan pemerintah daerah Kota Semarang.
Mereka telah menyiapkan Kecamatan Tugu untuk dibuka sebagai kawasan jasa dan industri.
Padahal kawasan itu masih memiliki hutan mangrove yang cukup luas. Bahkan, pemkot telah menerbitkan Perda Nomor 5 tahun 2021 terkait Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Menurut Patria, dalam perda disinggung soal reklamasi pantai yang akan dilakukan di pesisir Mangungharjo, Tugu, Kota Semarang.
"Pantauan kami reklamasi dilakukan berjarak 350 meter ke arah utara. Panjang 5 kilometer. Nantinya akan berpengaruh ke mangrove terutama dari perubahan arah arus dan kekeruhan air laut," paparnya.
Belum lagi kebijakan pemerintah pusat yang menerbitkan Perpres Nomor 60 tahun 2022 yang mengukuhkan ambisi pemerintah dalam membebani kawasan pesisir khususnya di tiga daerah meliputi Kendal, Semarang dan Demak.
Ia mengatakan, pendekatan rezim ini berupa tenokratik top-down, artinya tanpa mengajak rembukan wong cilik sehingga tidak mengakomodir kepentingan masyarakat khususnya pesisir.
"Kami sih tidak percaya ketika kebijakan top-down akan berpihak ke lingkungan dan masyarakat. Pemerintah Jakarta tahu apa sih soal semarang?," tegasnya.
Walhi Jateng telah melakukan kajian terkait pengaruh kawasan industri terhadap mangrove di pesisir Semarang, Demak dan Kendal. Kajian ini menjabarkan kerusakan mangrove mayoritas terjadi akibat alih fungsi lahan baik untuk perluasan kawasan industri, bandara udara, pelabuhan dan reklamasi.
Atas dasar itu, ia mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan bersifat bottom-up, Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) jangan hanya bersifat angin lalu saja lantaran dampak pembangunan yang terpapar adalah warga pesisir.
Berikutnya, beragam rencana-rencana pembangunan industri seharusnya dihentikan.
Pihaknya mendorong pula pemerintah untuk membuat skema adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di pesisir yang mampu menolong para warga pesisir yang terdampak perubahan iklim.
"Sejauh ini kami melihat belum ada skema tersebut. Andalan pemerintah sekarang masih bersifat defensif seperti membuat tanggul," katanya.

Mangrove Vs Penggusuran
Pakar mangrove Rignolda Djamaludin mengatakan, ekosistem magrove saat ini masih dihargai dengan sangat rendah dibandingkan jalan tol dan kawasan industri.
Pun adanya penggusuran hutan mangrove di Semarang, Jawa Tengah demi proyek tol.
Diakuinya, political will masih berperan penting dalam penyelamatan konservasi mangrove.
Jangankan kawasan magrove dalam kasus-kasus seperti ini situs budaya saja bisa dipindahkan demi mulusnya proyek jalan tol.
"Gimana bisa 40 hektare lebih hutan mangrove dipindahkan (imbas proyek tol Semarang-Demak). Yang benar adalah memusnahkan mangrove lalu kompensasi tanam di tempat lain. Itu hanya kata pembenaran. Kalau sudah salah janganlah cari-cari pembenaran," beber penulis Buku Magrove Biologi, Ekologi dan konservasi ini.
Ia berpendapat wilayah Jawa Tengah Jateng secara oseanografi sudah mengalami permasalahan di wilayah pantainya.Kondisi tersebut seharusnya jangan lagi ditambah tekanan dengan beragam proyek infrastruktur.
Sebaliknya lakukan Ecological Restoration atau memulihkan habitat dan ekosistem yang telah terdegradasi. "Sayangnya, pengambil keputusan menggunakan nilai-nilai tak jelas.
Pakai hitungan untung-untungan. (Lingkungan) selalu menjadi objek yang dikorbankan," jelasnya.
Lepas dari itu, ia tetap mendorong semangat warga pesisir Jawa Tengah yang memiliki energi peduli terhadap lingkungan pesisir.
Terkadang usaha kecil lebih berharga karena membudidayakan mangrove bukan soal luasan yang penting tetapi karakteristik, genetik dan fungsi ekologi.
"Warga pesisir Jateng yang sudah melakukan penamaan mangrove di sana apapun ancamannya tetap lakukan penanaman," pesannya.
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim , Muhamad Karim, menuturkan, terkait relokasi mangrove yang akan dilakukan di pesisir Semarang Jateng demi proyek tol hal itu merupakan langkah tak tepat.
Baginya, tidak mungkin kawasan ekosistem yang mempunyai interaksi kompleks dan menjamin metabolisme alam di kawasan kemudian dipindahkan.
"Pemprov Jateng keliru untuk mengatasi hal itu karena itu tak logis, relokasi (mangrove) adalah suatu tindakan tak tepat," paparnya saat diskusi RPP tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Magrove, Rabu (26/7/2023).
Pemprov Jateng dalam terancamnya hutan mangrove pesisir bisa mengacu kepada wewenangnya sebagai otonomi daerah yang memiliki kuasa dalam pengelolaan kawasan pesisir.
"Apapun istilahnya dari relokasi, re-vegetasi tak masuk akal sehingga itu akan menghacurkan ekosistem dan pos-pos ekologi yang sudah berlangsung secara alamiah akan hilang semua," terang Dosen Universitas Trilogi Jakarta ini.
Keberlanjutan Hutan Magrove?
Sub Koordinator Pengelolaan Ruang Laut Bidang KP3K Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Tengah, Benovita Dwi Saraswati mengatakan, terdapat dampak langsung dan tidak langsung dari pembangunan proyek tol Semarang-Demak.
Dampak langsung yakni mangrove yang dibabat lantaran untuk kebutuhan pembuatan tanggul maupun dampak tidak langsung yakni mangrove yang mati akibat paska pembangunan tol yang berdampak daerah sisi selatan tol akan kering sehingga mangrove dimungkinkan mati.
Wilayah yang terdampak Trimulyo terdampak langsung seluas 14 Ha, terdampak tidak langsung 24 Ha. Tahapan awal yang dilakukan penebangan di Trimulyo, Genuk luasan 12,4 Ha.
"Kapan ditebang belum tahu, magrove yang hendak ditebang merupakan dari terdampak langsung, sebaliknya mangrove tak terdampak langsung dibiarkan," terangnya.
Kemudian di Sayung, terdampak langsung 1,6 Ha tidak langsung 6,4 Ha. Bedono, terdampak langsung 0,15 Ha, tidak langsung 0,15 Ha. "Paling luas memang di Semarang," imbuhnya.
Mengantisipasi kerusakan tersebut, pihaknya menyebut, mengacu surat dari Badan Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional sudah menentukan lokasi re-vegetasi mangrove di empat lokasi meliputi Kalimati, timur tanggul banjir kanal timur, Sidogemah, Sayung, Betah Walang Bonang Demak.
“Empat lokasi ini sejauh ini belum ada kajiannya,” ungkapnya, Kamis (13/7/2023).
Pembabatan mangrove tersebut memang tak sejalan dengan program konservasi mangrove yang dicanangkan pemerintah provinsi Jawa Tengah.
Namun, Benovita mengklaim, pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah melakukan realisasi konservasi mangrove total telah mencapai seluas 1.686 Ha.
Ditambah pada tahun tahun 2023, sudah melakukan konservasi seluas 96,2 Ha.
Masih ada potensi tambahan konservasi sekitar 90 hektare di tahun ini yang berasal dari dana CSR perusahaan.
“Seperti program PLN punya target menaman 100 hektare di Pantura Jateng. 10 hektar di Rembang sudah sisanya survei Pekalongan Brebes,” tuturnya.
Meskipun adanya Proyek Strategis Nasional (PSN) di kawasan pesisir, ia yakin sesuai Perpres Nomor 60 tahun 2022 yang mengatur Rencana Tata Ruang Strategis Kedungsepur telah mengatur alokasi ruang keberlanjutan magrove.
Ia tak menyebut detail seberapa luasan ruang yang disediakan pemerintah melalui aturan tersebut.
“Tiga daerah Kendal, Semarang, Demak kedepannya nanti jadi zona industri namun menjamin keberlanjutan magrove tetap di situ,” katanya.
Ditemui terpisah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, Widi Hartanto mengatakan, relokasi mangrove terdampak tol Semarang-Demak masih dikomunikasikan terkait lokasi penggantinya.
Komitmen penanaman kembali mangrove yang hilang akibat pembantu tol Semarang-Demak tetap dilakukan karena sudah masuk ke dokumen lingkungan.
"Masih mengkomunikasikan, pembangunan kan belum selesai. Nanti lihat terdampak berapa bisa saja perencanaan berubah saat pelaksanaan," bebernya kepada Tribun, Jumat (28/7/2023).
Disinggung ancaman pesisir Jateng terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN), Widi memastikan, pihaknya bakal melakukan pengawalan dan pengawasan supaya proyek yang ada tak semestinya menghilangkan ekosistem mangrove.
Pengawasan dilakukan sejak awal penyusunan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
"Di dalam dokumen AMDAL ada kewajiban menyelamatkan magrove. Kuncinya, berada di dokumen persetujuan lingkungan di AMDAL sudah diatur dan tak semuanya ditebangi," katanya.
Ia juga memastikan kepada pelaksana proyek seperti pekerjaan jalan tol wajib melakukan rehabilitasi atau penanaman mangrove di area lain sekaligus merawatnya sampai tumbuh besar.
Setiap pelaku usaha wajib melakukan rehabilitasi menanam mangrove dengan luasan yang sama ketika dalam proses pembangunan menghilangkan kawasan mangrove.
"Jadi ada pengganti, hilang mangrove terus tidak ada pengganti, ketika ada pengganti maka luasan Magrove tidak berkurang. Itu kewajiban pelaku usaha dari rehabilitasi mangrove," tuturnya.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui DLHK mengklaim tiap tahunnya terus memperluas wilayah rehabilitasi mangrove.
Widi menyebut, selama kurun lima tahun dari 2017-2021 ada kenaikan luasan sebesar 3.148 hektare.
Rinciannya, pada tahun 2017 luasan rehabilitasi mangrove di angka 12.661 hektare. Ditahun 2021 bertambah menjadi 15.809 hektare.
Baca juga: Ratusan Bibit Mangrove Ditanam Polres Demak Dalam Menyambut HUT Humas Polri
"Data tahun 2022 masih dihitung, misal ditambah yang peningkatannya lebih," klaimnya.
Di samping itu, adanya pengembangan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) magrove di pasar Bangi Rembang, Mojo di Pemalang, dan Muara Kali Ijo di Kebumen.
"Kami melakukan pula gerakan rehabilitasi mangrove bersama masyarakat. Bahkan memberikan bantuan ekonomi produktif berupa alat-alat pengolahan kopi mangrove. Bentuk pemberdayaan masyarakat," tandasnya. (Iwn)
1. Nelayan Semarang, Sarjito saat bekerja menjaring ikan di dekat hutan mangrove Trimulyo, Genuk, Kita Semarang, Sabtu (29/7/2023). Hutan mangrove tersebut bakal hilang imbas pembangunan proyek tol Semarang-Demak. (Tribun Jateng/Iwan Arifianto).
2. Alat berat crane sedang dioperasikan petugas untuk melakukan pengerjaan proyek tol Semarang-Demak di pesisir antara Trimulyo dan Terboyo Wetan, Genuk, Kota Semarang, Sabtu (29/7/2023).(Tribun Jateng/Iwan Arifianto)
3. Peta jalan tol Semarang-Demak yang membelah pesisir utara Kota Semarang dan Kabupaten Demak. Proyek tersebut menyebabkan kerusakan hutan mangrove seluas 42,7 Ha. (Sumber, dok : Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Tengah).
4. Grafis janji pemerintah terkait revitalisasi mangrove dengan fakta di lapangan. (Tribun Jateng / Bram Kusuma)
Prakiraan Cuaca Kota Semarang Hari Ini Kamis 28 Agustus 2025: Hujan Ringan |
![]() |
---|
Mobilmu Mau Dipasang One Auto Film Premium? Cukup Bayar Rp2 Juta di Oneway Kaca Film Semarang |
![]() |
---|
Pemkot Evaluasi SOP Pengelolaan Gedung Cagar Budaya Setelah Kebakaran Resto di Kota Lama Semarang |
![]() |
---|
Lanjut Usia, Alasan Hakim Tipikor Semarang Tidak Cabut Hak Politik Mbak Ita Meski Divonis 5 Tahun |
![]() |
---|
Stok Beras di Kota Semarang Masih Cukup hingga 1 Bulan 21 Hari |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.