Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Nasional

Penjelasan MKMK Tak Bisa Batalkan Putusan MK Nomor 90 tentang Syarat Usia Capres-Cawapres

MKMK memberikan penjelasan bahwa tidak bisa membatalkan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal syarat batas usia capres-cawapres.

Editor: m nur huda
YouTube/Mahkamah Konstitusi
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dlaam sidang putusan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia minimal calo presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), pada hari ini, Senin (16/10/2023). 

TRIBUNJATENG.COMM, JAKARTA - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memberikan penjelasan bahwa tidak bisa membatalkan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal syarat batas usia capres-cawapres.

Pada Pasal 17 ayat (8) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan bahwa suatu putusan tidak sah jika melibatkan hakim yang terlibat konflik kepentingan, tidak bisa berlaku untuk Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal syarat batas usia capres-cawapres.

Meskipun, eks Ketua MK Anwar Usman telah dinyatakan melanggar etik berat dan terlibat konflik kepentingan.

Baca juga: Kata Bambang Pacul Soal MKMK Berhentikan Anwar Usman: Ini Bagus Sekali, Saya Apresiasi

Baca juga: Anwar Usman Diberhentikan dari Ketua MK, Terbukti Langgar Etik Berat

MKMK menjelaskan, meski pasal itu juga berlaku untuk hakim konstitusi mengundurkan diri dari perkara yang berpotensi konflik kepentingan, namun pasal itu "tidak serta-merta menyebabkan putusan MK yang bersifat final dan mengikat dengan sendirinya menjadi tidak sah".

"Melainkan harus dinyatakan tidak sah oleh pejabat atau lembaga yang berwenang untuk itu sesuai dengan prinsip presumptio iustae causae, dalam hal ini melalui pengujian oleh Mahkamah Konstitusi," sebut anggota MKMK dari unsur hakim konstitusi, Wahiduddin Adams, kala membacakan putusan terhadap Anwar Usman, Selasa (7/11/2023).

Jimly menegaskan, MKMK tidak bisa mengoreksi atau bahkan membatalkan Putusan 90 itu sekalipun pelanggaran etik terjadi di sana.

Kembali lagi, MKMK adalah lembaga penegak etik dan tidak dalam kapasitas menilai keabsahan putusan MK. Mengoreksi putusan MK akan membuat MKMK memiliki superioritas legal terhadap MK.

Jalur yang tersedia untuk membatalkan putusan MK, menurut Jimly, hanyalah melalui MK sendiri yang menyatakan pembatalan itu.

Saat ini, Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang diubah melalui Putusan 90 itu sedang digugat lagi ke MK.

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama (NU) Indonesia, Brahma Aryana (23), mengajukan uji materiil atas pasal tersebut.

Gugatan Brahma sudah diregistrasi dengan nomor 141/PUU-XXI/2023 dan akan disidang besok, Rabu (8/11/2023), bertepatan dengan hari terakhir pengusulan bakal capres-cawapres pengganti ke KPU RI.

Mereka berharap, MK bisa memutus perkara itu dalam waktu cepat karena perkara itu dianggap sudah sangat jelas lantaran sudah diperiksa MK melalui gugatan-gugatan sebelumnya.

Mereka juga meminta agar Ketua MK Anwar Usman, yang merupakan paman Gibran, tidak turut mengadili perkara itu. Hal ini disetujui MKMK.

"Permintaan pelapor BEM UNUSIA agar tidak mengikutsertakan Hakim Terlapor dalam pemeriksaan perkara Nomor 141PUU-XXX/2023 dapat dibenarkan," kata Jimly dalam kesimpulan putusannya.

Setelah putusan, Jimly mengapresiasi inisiatif mahasiswa itu.

"Dia menguji undang-undang yang sudah mengalami perubahan karena putusan MK. Dan itu boleh diuji," kata Jimly.

Apalagi, MK telah meregistrasi perkara itu, sehingga MK harus menyidangkannya pula. MK juga sudah menjadwalkan sidang perkara tersebut besok.

"Pada saat disidang nanti, para pemohon boleh menggunakan ketentuan Pasal 17 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hak ingkar. Hak ingkar terkait putusan MKMK ini di mana hakim terlapor yang sudaj diberi sanksi tidak boleh mengikuti penanganan perkara itu," jelas Jimly.

"Maka ada peluang terjadinya perubahan tapi bukan oleh MKMK, tapi oleh MK sendiri. Biarlah putusan MK diubah oleh MKMK sendiri melalui mekanisme yang tersedia," kata dia.

Sementara itu, dua pakar hukum tata negara, Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, melayangkan uji formil terhadap putusan yang sama.

Mereka menegaskan, berdasarkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Anwar Usman seharusnya sejak awal tak ikut mengadili perkara tersebut karena konflik kepentingan.

Tanpa Anwar Usman, maka komposisi di Mahkamah seharusnya didominasi oleh hakim yang menolak mengabulkan perkara itu.

Sama seperti Brahma, Denny dan Zainal juga meminta sidang kilat atas gugatan uji formil mereka, serta tidak dilibatkannya Anwar Usman dalam mengadili perkara itu.(*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul MKMK: UU Kekuasaan Kehakiman Tak Bisa Dipakai untuk Batalkan Putusan Syarat Capres-Cawapres

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved