Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Nasional

Pemakzulan Presiden Jokowi, Yusril Anggap Itu Gerakan Inkonstitusional

Tiga pakar hukum tata negara angkat bicara tanggapi wacana pemakzulan Presiden Joko Widodo oleh Petisi 100 dari sejumlah tokoh yang mendatangi Menko P

Editor: m nur huda
ANTARA FOTO/HAFIDZ MUBARAK A
Yusril Ihza Mahendra, menilai gerakan pemakzulan Jokowi inkonstitusional karena tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 7B UUD 1945. 

Takut Kalah

Pakar hukum tata negara yang juga Anggota DPD RI Jimly Asshiddiqie mengaku heran dengan wacana pemakzulan Presiden Jokowi yang kembali ramai satu bulan menjelang pemungutan suara Pemilu 2024.

Mantan Ketua MK ini menduga isu pemakzulan Jokowi untuk pengalihan perhatian atau karena pendukung pasangan calon capres-cawapres lain khawatir kalah.

"Aneh, sebulan ke pemilu kok ada ide pemakzulan presiden. Ini tidak mungkin, kecuali cuma pengalihan perhatian atau karena pendukung paslon, panik dan takut kalah. Satu bulan ini, mana mungkin dicapai sikap resmi 2/3 anggota DPR & dapat dukungan 2/3 anggota MPR setelah dari MK. Mari fokus saja sukseskan pemilu," tulis akun media sosial X @jimlyAs seperti dikutip redaksi, Minggu (14/1).

Banyak Syarat

Zainal Arifin mengatakan, terdapat tiga alasan seorang presiden dapat dimakzulkan atau diberhentikan dari jabatannya.

Pertama, adalah presiden melakukan pelanggaran pidana, seperti suap, korupsi, penghianatan kepada negara, dan tindak pidana berat lainnya. Selanjutnya, presiden melakukan perbuatan tercela.

Zainal melihat frasa perbuatan cela diambil dari aturan hukum yang berlaku di Amerika Serikat, namun bedanya pemaknaan atas kejahatan itu di AS lebih spesifik daripada Indonesia.

“Misal skandal Bill Clinton dengan Lewinsky itu bukan karena hubungan seksual, tapi karena Clinton berbohong di bawah sumpah. Saya tidak tahu kalau di Indonesia perbuatan tercela diterjemahkannya seperti apa karena perdebatannya bisa panjang,” kata Zainal.

Terakhir adalah jika presiden tidak lagi memenuhi syarat untuk memimpin negara. Pasal 7A UUD 1945 mengatur bahwa, “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

Cawe-cawe

Zainal menjelaskan, “bisa iya, bisa tidak. Apakah misalnya presiden cawe-cawe dalam pemilu itu bisa dianggap sebagai perbuatan pidana atau perbuatan tercela.

"Secara substansi perdebatannya ada dan panjang, walaupun tentu saja sangat mungkin diskualifikasi terjadi pelanggaran presiden karena selama ini sudah banyak sekali terakumulasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan itu, banyak sekali sebenarnya," jelas Zainal.

"Cuma apakah bisa dikualifikasikan ke tiga jenis tadi itu pasti ada perdebatannya,” ujarnya kemudian.

Pendukung 85 Persen

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved