Hakim Berkelas Negarawan dan Dewa
Lalu ada ungkapan bahwa hakim MK setengah dewa. Maksud dari ungkapan tersebut bahwa majelis hakim diharapkan jadi penyelamat bangsa
Penulis: cecep burdansyah | Editor: muslimah
Oleh: Cecep Burdansyah/Pengamat Hukum
SEBELUM Mahkamah Konstitusi memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) 2024, tebersit harapan agar majelis hakim MK bersikap sebagai negarawan. Maksud dari ungkapan tersebut, dalam memutus perkara, majelis hakim bertindak membela kepentingan negara dan bangsa, sebagai kepentingan yang lebih luas daripada kepentingan individu atau kelompok. Karena di situlah rasa keadilan sedang dirasakan oleh masyarakat.
Tentu saja keadilan tidak bisa dirasakan oleh semua orang. Tapi mereka yang berharap hakim sebagai negarawan itu tidak sedang membela pasangan Anies - Muhaimin atau Ganjar - Mahfud agar dimenangkan. Sama sekali bukan itu. Mereka tidak partisan. Keadilan yang dirasakan itu adalah kepentingan yang lebih luas, kepentingan bangsa dan negara, kepentingan demokrasi, sistem politik yang sudah disepakati dalam UUD 1945 dan dijaga agar tidak dilanggar.
Contoh sederhananya begini. Kalau seorang presiden mendesain pemilu untuk kepentingannya dan keluarganya, seperti oleh Soeharto di zaman orde baru, yang menjadi korban bukan hanya mereka yang tidak sehaluan dengan presiden, tapi juga mereka yang mendukung presiden. Konkretnya sekarang, kalau Presiden Jokowi mati-matian berusaha agar Pemilu berlangsung sesuai norma tapi sebetulnya didesain untuk memenangkan anaknya yang berpasangan dengan Prabowo dengan berbagai cara yang rapi, yang rugi sebetulnya bukan Anis - Muhaimin atau Ganjar - Mahfud atau orang-orang yang mengkritik keras presiden, tapi juga orang-orang yang ada di lingkarannnya. Mereka para pendukung Prabowo - Gibran termasuk jadi korban.

Publik tahu bagaimana karier politik Yusril Ihza Mahendra dari bawah, mulai dari menjadi penasihat Soeharto, anggota DPR dan Ketua Umum PBB, yang sangat mumpuni dalam ilmu hukum tata negara, harus jadi pecundang sekadar jadi penggembira dikalahkan oleh anak yang tak punya pengalaman politik dan wawasan kebangsaan dan kenegaraan. Jadi ketika ada komunitas akademis atau masyarakat yang menyatakan pemilu berlangsung curang, tidak sedang membela pasangan Anis - Muhaimin atau Ganjar - Mahfud, tapi sedang ikhitar menyelamatkan pembusukan demokrasi, yang korbannya seluruh masyarakat Indonesia, terutama generasi masa depan.
Lalu ada ungkapan bahwa hakim MK setengah dewa. Maksud dari ungkapan tersebut bahwa majelis hakim diharapkan jadi penyelamat bangsa. Kondisi bangsa sedang sakit akibat intervensi kepala negara dalam mendesain pemilu demi keluarganya. Karena rakyat tidak berdaya akibat suprastruktur, mulai dari anggaran, aparat dan ketua umum partai politik sudah dalam genggaman presiden, maka satu-satunya yang bisa menyelamatkan adalah para dewa. Manusia yang memiliki integritas, wawasan, kearifan dan keberanian setara dewa, atau setidaknya setengah dewa, layak menempati posisi hakim MK.
Dalam kenyataannya, mereka yang berharap hakim MK sebagai negarawan dan setengah dewa itu harus menelan pil pahit. Mereka tak lebih dari manusia biasa. Sidang sengketa pilpres yang kita nilai cukup berat dan memakan energi, ternyata ditangani dengan cara berpikir dan sikap biasa-biasa saja, yang tak lebih dari manusia biasa. Mereka terpilih jadi hakim MK bisa saja bukan karena mereka unggul. Mereka terpilih hanya karena kebetulan dalam seleksi bisa memperlihatkan retorika ilmu hukum secara akademik. Tapi ketika diterapkan dalam praktik, mereka gagal. Ujian yang sebenarnya justru ketika mereka memutus perkara yang maha penting dan strategis untuk bangsa dan negara. Mereka mungkin hebat secara akademik, tapi gagal dalam penerapan (praktek).
Majels hakim MK, terutama yang lima orang, menggunakan berpikir hukum formalisme, yaitu yang menempatkan hukum sebagai mesin, hakim hanya sebagai corong undang-undang. Karena itu wajar tokoh formalisme hukum John Henry Wigmore (1863-1943) sudah mengingatkan kelemahan hakim model ini dalam memutus perkara. Ia menyebut banyak putusan yang dibuat oleh hakim yang bercorak formalisme sangat ceroboh, tergessa-gesa, dan pandangan hukumnya sangat sempit dan teknis. (Sengketa Mazhab Hukum: Sintesis Berbagai Mazhab dalam Pemikiran Hukum, Muji Kartika Rahayu, Penerbit Buku Kompas, hal. 55).
Sepertinya, sampai kapanpun, Indonesia akan kesulitan melahirkan hakim MK berkelas negarawan dan hakim-hakim setengah dewa. Penyebabnya, aliran formalisme hukum yang lahir dari Eropa kontinental sejak jaman Kerajaan di Inggris (Magna Charter), masih bercokol kuat di Indonesia yang mewarisi hukum Belanda. Fondasi aliran formalisme adalah kepastian hukum, tetapi menyingkirkan rasa keadilan.
Makanya tidak aneh, ada kasus nenek yang mencari singkong untuk cucunya yang kelaparan, tetap divonis bersalah oleh hakim, meskipun hakim harus menangis saat menjatuhkan vonis. Antara hati dan otaknya bertentangan. Para yuris yang menganut aliran formalisme, unsur keadilan, kemanusiaan tidak boleh dicampuradukkan dalam proses hukum. Ketika si nenek itu mencuri, ya tetap harus dihukum penjara, tak peduli dia miskin dan sedang membela cucunya yang kelapaaran.
Seperti itulah wajah hukum di Indonesia. Bercorak legisme. Model berpikir hukum ini hanya layak diterapkan dalam perkara pidana berat, dan memang sejarahnya lahir karena kesewenangan raja menghukum warganya. Tidak cocok diterapkan dalam konteks hukum tata negara seperti dalam persidangan di MK. Hukum bercorak formalisme selalu tergantung pada bukti nyata alias kasat mata. Karena itulah, tidak aneh, ketika soal bansos dan pengerahan aparat dalam proses pemilu tidak terlihat nyata oleh mata, majelis hakim MK mengabaikan unsur politisasi bansos karena tidak cukup bukti.
Corak hukum aliran formalisme atau legisme sebetulnya sudah mendapat kritik keras dari guru besar hukum Undip Satjtipto Rahardjo. Dan dalam buku Muji Kartika Rahayu pun sudah dipaparkan kelemahannya. Lalu E Fernando M Manulang, dosen Fakultas Hukum UI pun menulis bukiu “Legisme, Legalitas dan Kepastian Hukum”, buku yang khusus membongkar sisi kelemahan aliran formalisme hukum, bahkan ia menguraikan sejarah asas kepastian hukum dan legalitas, yang dalam perjalanannya telah menyimpang dari tujuan awalnya.
Di AS sebelum perang saudara (sipil), hukum aliran formalisme sangat kuat. Pasca perang sipil banyak pengacara dan ahli hukum yang melakulan pembaharuan, dan caranya para sarjana hukum AS pasca perang sipil merebut posisi strategis penegakan hukum, hakim, pengacara, jaksa dan terutama posisi dekan fakultas hukum, karena dari sini lahirnya pembaharu hukum. Maka lahirlah para pembaharu hukum seperti Roscou Pound, Richard Posner, Jerome Frank dan yang lainnya. (Muji Kartika Rahayu).
Tetapi para yuris di Indonesia (penegak hukum; hakim, jaksa, polisi, dan pengacara) lebih senang bercokol dalam aliran formalisme hukum. Mengapa betah di situ? Pertama, karena paling gampang, tidak harus memeras otak terutama berefleksi mengenai filsafat hukum. Nuraninya rela harus bertentangan dengan otaknya.
Kedua, esoteris, aliran formalisme hukum merasa eksklusif, tidak bisa dicampuri oleh bidang lain seperti psikologi, filsafat, psikologi dan ilmu lainnya. Tak heran ahli filsafat Frans Magnis Suseno dan pakar psikologi Hamdi Muluk yang jadi saksi ahli di sidang MK, ditertawakan para pengacara Prabowo-Gibran. Orang-orang hukum aliran formalisme merasa diri paling mewah dan paling menentukan hidup seseorang.
Sikap yang menurut saya sangat berbahaya. Banyak contohnya pengacara yang ugal-ugalan hanya memamerkan kekayaan daripada kecermelangan otak. Akibatnya, kita tidak akan menyaksikaan perdebatan bermutu di ruang sidang karena para yuris miskin gagasan dan pengetahuan. Yang terjadi malah kasak-kusuk bau busuk makelar kasus. (* )
Mulai 2029, MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, Pemilihan DPRD Bareng Pilkada |
![]() |
---|
Sosok Sri Hartono, Guru SMAN 15 Semarang Yang Gugat MK Soal Usia Pensiun Dosen Lebih Lama 5 Tahun |
![]() |
---|
Tantangan Sekolah Swasta Gratis bagi Pemda |
![]() |
---|
Pemkab Jepara Bakal Kaji Keputusan MK yang Wajibkan Sekolah Gratis 9 Tahun |
![]() |
---|
Pemkot Solo Tunggu Arahan Pusat Pasca Putusan MK Terkait Gratiskan Biaya Pendidikan SD-SMP Swasta |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.