Berita Nasional
Teka-teki Calon Kepala BIN Kabinet Prabowo, dari TNI atau Polisi?
Posisi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang sangat vital dalam pemerintahan menjadi sorotan pengamat terorisme dan intelijen sekaligus Tenaga Ahli
TRIBUNJATENG.COM - Dinamika pemberitaan media akan terpusat pada lika-liku koalisi dan pemilihan calon menteri kabinet Prabowo setelah kabinet pemerintahan Jokowi berakhir.
Posisi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang sangat vital dalam pemerintahan menjadi sorotan pengamat terorisme dan intelijen sekaligus Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ridlwan Habib.
Sepanjang perjalanan BIN di Indonesia, hampir semua Kepala BIN berlatarbelakang militer. Baru dua orang jenderal polisi yang menjadi pucuk pimpinan tertinggi lembaga telik sandi yang kantornya berpagar warna merah itu.
Pertama, Jenderal Polisi Sutanto yang menjabat di era Presiden Susilo Bambang Yudoyono.
Kedua, Jenderal Polisi (Purn) Budi Gunawan yang kini masih menjabat sejak dipilih menggantikan Letjen TNI (Purn) Sutiyoso pada 2016 lalu.
“Perdebatan apakah Kepala BIN harus dari TNI atau Polisi merupakan perdebatan yang tak relevan. Sebab sejatinya, pemilihan Kepala BIN adalah hak prerogatif Presiden,” ujar Ridlwan dalam peluncuran buku Menyingkap Selubung Intelijen di kawasan Menteng, Jakarta (10/5).
Buku karangan Ridlwan berjudul "Menyingkap Selubung Intelijen" setebal 300 halaman berisi tentang seluk beluk dunia mata-mata. Mulai dari cara perekrutan, gaji, karir, hingga pendidikan agen intelijen.
Menurut Ridlwan, seorang Kepala BIN bahkan bisa saja dipilih Presiden dari kalangan sipil profesional yang memahami tentang intelijen.
“Kepala BIN adalah kepanjangan dari mata dan telinga Presiden yang menjadi landasan mengambil pilihan sikap kebijakan, bukan soal latar belakang militer atau sipilnya tapi keahliannya,” ujar dia.
Dalam khasanah ilmu intelijen stratejik, dua pemikir intelijen di Amerika Serikat pernah memperdebatkan unsur kedekatan (proximity) antara kepala lembaga intelijen dengan Presiden sebagai pengguna (user).
Keduanya adalah guru besar CIA Sherman Kent dan mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert Michael Gates.
Sebelum menjadi menteri pertahanan, Gates pernah juga menjabat sebagai direktur CIA periode 1991 -1993 di masa pemerintahan Presiden Bush senior.
Sherman Kent berpendapat bahwa seorang kepala lembaga intelijen haruslah orang yang profesional dan memiliki kapastitas di bidangnya, serta bebas dari kepentingan politik.
Kent beralasan, jika pimpinan intelijen mempunyai motif politik pribadi, maka hasil analisanya akan bias dan cenderung memihak pada kepentingan yang dekat dengan afiliasi politiknya.
Sedangkan Robert Gates justru berpendapat sebaliknya. Menurutnya, kepala intelijen haruslah orang kepercayaan presiden dan orang yang sama garis politiknya dengan presiden.
Bung Towel Trending di X Setelah Timnas Indonesia Gagal Lolos ke Piala Dunia: Sindir Kualitas Pemain |
![]() |
---|
Sosok Surya Darmadi Terpidana Korupsi Rugikan Negara Rp 73,9 T Protes Dipindah ke Nusakambangan |
![]() |
---|
KemenHAM Jateng Perkuat Hak Pelaku Usaha Informal untuk Wujudkan Ekonomi Inklusif |
![]() |
---|
Tragedi Maut Pasutri Bulan Madu di Penginapan Solok: Istri Meninggal, Suami Kritis |
![]() |
---|
Kemenham Jateng Pantau PSN Pengadaan 3 Juta Rumah di Yogyakarta |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.