Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Israel vs Hamas

Mesir Israel Meruncing Gara-gara Zionis Menguasai Perlintasan Rafah

Perselisihan antara Mesir dan Israel makin menjadi-jadi setelah negara Zionis nekat menguasai perlintasan Rafah di Jalur Gaza.

Kompas.com/Istimewa
Foto yang diambil pada 6 Mei 2024 menunjukkan asap mengepul menyusul pengeboman di timur Rafah di Jalur Gaza selatan, di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan gerakan Hamas Palestina. Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borell pada tanggal 6 Mei mengutuk perintah Israel agar warga Palestina yang tinggal di Rafah timur meninggalkan kota Gaza menjelang serangan darat yang diperkirakan akan terjadi. (AFP) 

TRIBUNJATENG.COM, MESIR -- Perselisihan antara Mesir dan Israel makin menjadi-jadi setelah negara Zionis nekat menguasai perlintasan Rafah di Jalur Gaza.

Mesir sebenarnya adalah salah satu juru penengah dalam perundingan antara Hamas dan Israel.

Negara di Afrika Utara itu berupaya agar terjadi gencatan senjata Hamas-Israel dan pertukaran sandera.

Meski demikian, Mesir acap kali memperingatkan Israel tentang pelanggaran perjanjian perdamaian tahun 1979.

Sayangnya peringatan Mesir itu tak digubris oleh Israel. Militer Zionis pekan lalu masuk ke Rafah dan mengontrol perlintasan itu.

Banyak yang meragukan Mesir akan memutuskan hubungan dengan Israel karena invasi Israel ke Rafah.

Akan tetapi, masuknya Israel ke Rafah itu jelas menandakan meningkatnya ketegangan antara Mesir dan Israel.

Di samping itu, pada Minggu, (12/5/2024), Mesir mengatakan bakal bergabung dengan Afrika Selatan untuk menggugat Israel di Mahkamah Internasional (ICJ) dalam kasus genosida di Gaza.

Tentara Israel menguasai perlintasan Rafah pada tanggal 7 Mei dan menutupnya. Perlintasan itu menjadi pintu masuk utama untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan di Gaza.

Menteri Luar Negeri Israel Sameh Shoukry menyebut Israel harus bertanggung jawab atas tindakannya.

“Bertanggung jawab atas penutupan perlintasan Rafah di sisi Palestina,” kata Shoukry pada hari Minggu dikutip dari The New Arab.

Dia turut menyinggung perjanjian normalisasi hubungan dengan Israel yang menjadi pilihan Mesir.

“[Perjanjian normalisasi dengan Israel] telah menjadi pilihan strategis Mesir selama 40 tahun, hal itu memiliki mekanisme sendiri … untuk menyelidiki setiap pelanggaran dan mengatasinya,” katanya.

Sementara itu, mantan Perdana Menteri Mesir Nabil Fahmy meyakini saat ini tidak ada ruang untuk kerja sama antara Mesir dan Israel lantaran Israel menguasai perlintasan Rafah.

Kepada Ashraq Al-Awsat, Fahmy mengatakan negaranya tidak akan menerima pilihan selain penguasaan perlintasan Rafah oleh orang Palestina. Dia turut berujar bahwa penguasaan perlintasan itu oleh Israel adalah hal yang tidak sah.

Di samping itu, dia percaya bahwa Israel tidak ingin menyudahi perang di Gaza. Fahmy ragu bahwa gencatan bisa terwujud jika Israel tetap menggunakan pendekatan saat ini.

Dukung Afrika Selatan

Mesir sudah resmi mengatakan akan bergabung dengan Afrika Selatan untuk menggugat Israel di ICJ atas kasus genosida di Gaza.

Dalam gugatan itu, Israel dituding melanggar kewajibannya menurut Konvensi Genosida dalam perangnya di Gaza.
Kementerian Luar Negeri Mesir pada hari Minggu menyebut negaranya ingin bergabung dengan Afrika Selatan karena meningkatnya agresi Israel terhadap warga sipil Palestina.

“Pengajuan [gugatan] itu muncul karena meningkatnya kekerasan dan cakupan dalam serangan Israel terhadap warga Palestina di Jalur Gaza, dan praktik sistematis yang jahat terhadap rakyat Palestina, termasuk langsung menargetkan warga sipil dan penghancuran infrastruktur di Gaza, mendesak warga Palestina untuk melarikan diri,” kata kementerian itu dalam pernyataannya, dikutip dari Al Jazeera.

Adapun Afrika Selatan mengajukan gugatan terhadap Israel pada bulan Januari lalu. Negara itu mendakwa Israel melakukan genosida terhadap warga Palestina di Gaza.

Para pengunjuk rasa mengambil bagian dalam demonstrasi solidaritas terhadap penduduk Palestina, saat Mahkamah Internasional (ICJ) menyampaikan keputusannya setelah sidang kasus melawan Israel yang diajukan oleh Afrika Selatan, pada 26 Januari 2024.

Saat ini jumlah warga Gaza yang tewas akibat serangan Israel sudah mencapai lebih dari 35.000 orang. Sebagian besar dari mereka adalah wanita dan anak-anak.

ICJ dalam putusannya atas gugatan itu menyatakan ada risiko genosida di Gaza. Kemudian, ICJ meminta Israel untuk mengambil langkah sementara, termasuk mencegah tindakan genosida terjadi. Tak hanya Mesir, Turki dan Kolombia pun akan bergabung dengan Afrika Selatan untuk menggugat Israel. 

Turki Merawat 1.000 Warga Gaza

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengklaim lebih dari 1.000 anggota kelompok militan Hamas telah mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit (RS) di seluruh Turki sejak perang Hamas-Israel Pecah pada Oktober silam.

Akses perawatan tersebut sengaja diberikan Erdogan sebagai bentuk dukungan Turki untuk mempercepat proses kemenangan Palestina atas invasi Israel.

“1.000 anggota kelompok militan Palestina Hamas dirawat di rumah sakit di seluruh Turki, saya tegaskan bahwa Hamas adalah gerakan perlawanan bukan teroris,” ujar Erdogan dikutip dari Al Arabiya.

Tak berselang lama setelah pernyataan tersebut dirilis Erdogan, seorang pejabat Turki yang enggan disebutkan namanya mengklarifikasi maksud Erdogan tentang lebih dari 1.000 milisi Hamas yang dirawat di RS Turki merujuk pada warga Palestina dari Gaza secara umum, bukan anggota Hamas.

“Presiden Erdogan salah bicara, yang dia maksud adalah 1.000 warga Gaza yang dirawat, bukan anggota Hamas,” kata pejabat Turki tersebut.

Turki menjadi salah satu negara yang paling vokal menyerukan tuntutan gencatan senjata. Tak sampai di situ untuk mendukung hak-hak warga Palestina, Erdogan bahkan menolak rencana pembentukan zona penyangga pasca perang yang digagas Israel.

“Saya bahkan menganggap perdebatan mengenai rencana (zona penyangga) ini tidak menghormati saudara-saudara saya di Palestina. Bagi kami, ini bukanlah rencana yang dapat diperdebatkan, dipertimbangkan, atau didiskusikan," tegas Erdogan.

Untuk memprotes tindakan yang dilakukan PM Netanyahu dan pasukannya, Turki menghapus Israel dari daftar negara target ekspornya. Imbas pemutusan tersebut semua transaksi dan kerja sama impor dan ekspor terkait dengan Israel resmi dihentikan mulai awal Mei lalu. (tribunnews/afp/aljazeera/al arabiya/kompas)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved