Berita Solo
Warga Berebut Gunungan Grebeg Besar Keraton Solo
Dua gunungan habis diperebutkan warga dalam Grebeg Besar yang diselenggarakan Keraton Solo, Selasa (18/6).
TRIBUNJATENG.COM, SOLO - Dua gunungan habis diperebutkan warga dalam Grebeg Besar yang diselenggarakan Keraton Solo, Selasa (18/6).
Gunungan itu masing-masing diperebutkan warga di halaman Masjid Agung dan depan Keraton Solo. Acara ini diadakan untuk memperingati Iduladha, yang menurut penanggalan Jawa, jatuh pada Selasa kemarin.
Seorang warga Semarang, Dwi Utami (29), rela berebut bersama warga lain untuk mendapatkan beberapa untai kacang panjang. Dwi mengaku, sengaja datang untuk ikut melestarikan tradisi ini.
“Baru pertama kali (menghadiri Grebeg Besar—Red). Saya dari Semarang. Ada liburan dan ada acara grebeg sekalian,” kata Dwi.
Dia menyatakan, ingin membawa pulang kacang panjang tersebut. Dia berharap, cita-citanya untuk punya kebun bisa tercapai.
“Ini dapat sayuran. Semoga kehidupan selanjutnya dapat sehat, bisa punya kebun. Nanti dibawa pulang ke Semarang,” terangnya.
Sementara itu, Penghageng Parentah Keraton Solo, KGPH Dipokusumo menjelaskan, gunungan ini memiliki makna perjalanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, di bagian bawah dipasang umbi-umbian, lalu di tengah hasil bumi yang menempel tanah, di atas diberi hasil bumi yang bergelantungan.
“Gunungan adanya sepasang kita namakan pareden hasil bumi dari pala kependem menggambarkan sebelum kita lahir. Pala kesampar apa yang kita laksanakan di kehidupan sekarang ini. Kemudian pala gumantung kehidupan selanjutnya. Disebut sangkan paraning dumadi,” kata Gusti Dipo, sapaan akrabnya.
Gusti Dipo mengatakan, Grebeg Besar dengan mengirab dua gunungan jaler (laki-laki) dan estri (perempuan) itu merupakan tradisi adat yang diselenggarakan dalam rangka memperingati Iduladha.
"Grebeg Besar sudah dilaksanakan sejak zaman Kerajaan Demak sampai sekarang dan telah ditetapkan sebagai warisan cagar budaya tak benda peringkat nasional," kata Gusti Dipo, sapaan akrabnya.
Tradisi Grebeg Besar yang diselenggarakan Keraton Solo, lanjut Dipo, juga merupakan bentuk pelestarian, pengembangan, dan inovasi baru.
"Untuk kali ini Grebeg Besar tepat pada hari Selasa yang perhitungan kalender Jawa, yaitu tanggal 10 Besar. Kalender ini berdasarkan penghitungan dari kalender Jawa yang diciptakan Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma, yang itu merupakan penggabungan sinkronisasi dari tahun Saka dan tahun Hijriah untuk sekarang tahun Jawa, yaitu 1957," katanya.
Dia memaparkan, grebeg selalu dimaknai dengan sepasang gunungan atau dua gunungan. Sepasang gunungan itu merupakan hasil bumi dan makanan kering.
"Simbolis dari makna gunungan ada dua. Ini simbol laki dan perempuan, yaitu gunungan pawestri dan jaler, yang merupakan simbol kesuburan yang diwarnai dengan warna seperti bendera kita merah putih," jelasnya.
Lebih jauh, dia menambahkan, Keraton Solo dalam setahun tiga kali menyelenggarakan tradisi grebeg. Ketiga grebeg itu, yakni Grebeg Besar (Iduladha), Grebek Maulud (perayaan hari lahir Nabi Muhammad), dan Grebeg Syawal (Idulfitri atau Grebeg Pasa). (kps/Tribunsolo.com)
Baca juga: OPINI Medi Yusva : Keterampilan Literasi Numerasi untuk Memahami Media
Baca juga: Nilai Transaksi Judi Online Capai Rp600 Triliun di Kuartal Pertama 2024
Baca juga: Empat Ribu Warga Terdampak Banjir Nias Mengungsi
Baca juga: Iptu Rudiana Dilaporkan ke Polres, Kuasa Hukum Saka Tatal Duga Ada Rekayasa dalam Kasus Vina Cirebon
Pasar Raya 2025 Resmi Dibuka, Wujud Komitmen Menjaga Warisan Budaya |
![]() |
---|
Perlahan Terungkap Sosok J yang Jadi Dewan Pengawas PSI |
![]() |
---|
Ini Alasan Jokowi Hadir di Acara Reuni UGM Meski Kondisi Masih Pemulihan |
![]() |
---|
Hasto Divonis 3,5 Tahun Penjara, Jokowi Minta Hormati Putusan Pengadilan |
![]() |
---|
Ini Alasan Jokowi Tidak Pakai Seragam Saat Reuni di UGM dan Tidak Ikut WA Grup Alumni |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.