Opini
Peran Wanita Dalam Kontestasi Politik
Perempuan juga memiliki potensi dan kontribusi yang besar bagi pembangunan politik
Oleh : Erni Unggul S.U
Dosen Prodi Sarjana Terapan Akuntansi Sektor Publik Politeknik Harapan Bersama
TRIBUNJATENG.COM - Menuju tahun 2024, isu-isu politik di Indonesia makin beragam, salah satunya adalah isu menurunnya partisipasi politik perempuan dalam kontestasi politik tahun 2024. Hal ini diawali karena sebanyak 17 partai politik dari 18 parpol nasional peserta Pemilu 2024 tidak memenuhi jumlah minimal 30 persen perempuan. Seharusnya partisipasi perempuan yang ikut andil di parlemen sekurang-kurangnya 30 persen seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang keikutsertaan perempuan dalam partai politiknya sangat rendah. Berdasarkan data dari World Bank pada tahun 2019, Indonesia menduduki posisi ke-7 di Asia Tenggara sebagai negara dengan keikutsertaan Perempuan dalam parlemennya sangat rendah. Badan Pusat Statistik (BPS) dan CEIC mencatatkan pada tahun 2021 persentase keterlibatan perempuan di parlemen sebesar 21,89 persen. Angka ini naik 3,7 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sementara kalau kita bandingkan dalam satu dekade terakhir, persentasenya naik 25 persen di mana tahun 2011 hanya sebesar 17,49 persen. Berdasarkan data tersebut, partisipasi perempuan dalam politik di Indonesia belum menyentuh angka 30 persen, tentu angka ini memperlihatkan masih adanya kesenjangan antara partisipasi politik laki-laki dengan perempuan. Faktor penyebab yang menghalangi peran perempuan terjun ke dunia politik, diantaranya adalah bahwa politik dianggap pekerjaan kotor dan banyak intrik.
Politik adalah salah satu bidang yang penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, Melalui politik, berbagai kepentingan, aspirasi dan ide dapat diwujudkan dalam bentuk kebijakan, program, dan aksi nyata. Namun, politik juga merupakan bidang yang penuh dengan tantangan, persaingan dan konflik. Untuk dapat berpartisipasi dalam politik, diperlukan kemampuan, kompetensi, dan kredibilitas yang tinggi.
Perempuan juga memiliki potensi dan kontribusi yang besar bagi pembangunan politik. Perempuan memiliki perspektif, pengalaman, dan kepentingan yang berbeda dengan laki-laki, yang dapat memperkaya wacana dan substansi politik. Perempuan juga memiliki kepekaan, empati, dan solidaritas yang tinggi, yang dapat meningkatkan kualitas dan akuntabilitas politik. Perempuan juga memiliki jaringan, gerakan, dan organisasi yang kuat, yang dapat menjadi basis dan sumber daya untuk berkontestasi dalam politik.
Sayangnya, dalam konteks Indonesia, politik masih didominasi oleh laki-laki. Jumlah perempuan yang terlibat dalam politik, baik sebagai pemilih, calon, maupun anggota legislatif, masih jauh di bawah laki-laki. Padahal, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk berpolitik, sesuai dengan sila keempat Pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Jika porsi keterwakilan perempuan masih dibawah standar, maka akan sulit bagi perempuan untuk bisa memberikan dampak besar di lembaga legislatif. Kurang seriusnya partai politik dalam mendorong keterlibatan perempuan dalam politik juga menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya keterwakilan perempuan. Peran organisasi perempuan yang sangat berpotensi untuk mempersiapkan kandidat caleg potensial, juga masih rendah. Fakta ini tentu sangat miris, mengingat tingginya potensi perempuan untuk duduk di kursi legislatif, karena mereka umumnya memiliki basis sosial yang kuat di akar rumput, disamping itu, Perempuan juga memiliki potensi untuk melawan praktik politik uang yang kerap dilakukan caleg berduit yang berasal dari dinasti politik.
Namun, mengapa posisi perempuan dalam politik masih lemah? Ada beberapa faktor yang menjadi penghambat bagi perempuan untuk berpolitik, antara lain:
Pertama, faktor budaya. Masih ada pandangan dan stereotip yang menganggap bahwa politik adalah dunia laki-laki, sedangkan perempuan lebih cocok berada di ranah domestik. Perempuan yang berpolitik sering dianggap melanggar norma dan nilai sosial, bahkan mendapat stigma dan diskriminasi. Perempuan juga sering mengalami pelecehan, intimidasi, dan kekerasan dalam politik, baik secara fisik, verbal, maupun psikologis.
Kedua, faktor struktural. Masih ada sistem dan aturan yang tidak mendukung keterlibatan perempuan dalam politik, seperti sistem pemilu, alokasi kursi, dan mekanisme pencalonan. Meskipun ada undang-undang yang mengatur tentang kuota 30 persen bagi perempuan dalam parlemen namun implementasinya masih belum optimal. Banyak partai politik yang tidak serius dalam merekrut, mendidik, dan mengusung kader perempuan. Banyak pula daerah pemilihan yang tidak memenuhi kuota perempuan, bahkan ada yang tidak ada sama sekali.
Ketiga, faktor personal. Masih ada kendala dan tantangan yang dihadapi oleh perempuan secara pribadi dalam berpolitik, seperti kurangnya modal, sumber daya, dan jaringan. Perempuan juga sering mengalami kesulitan dalam mengelola waktu, energi, dan peran ganda sebagai ibu, istri, dan politisi. Perempuan juga sering kurang percaya diri, berani, dan mandiri dalam berpolitik, karena kurangnya pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman.
Lalu, bagaimana cara meningkatkan posisi perempuan dalam politik? Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, antara lain:
Pertama, melakukan advokasi dan edukasi kepada masyarakat, khususnya laki-laki, tentang pentingnya keterlibatan perempuan dalam politik, serta menghapus stigma dan stereotip negatif terhadap perempuan yang berpolitik. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai media, seperti sosial, budaya, pendidikan, dan agama.
Kedua, mendorong dan mendukung partai politik untuk lebih serius dan konsisten dalam menerapkan kuota 30 persen bagi perempuan, baik dalam kepengurusan, pencalonan, maupun penganggaran. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai mekanisme, seperti regulasi, insentif, sanksi, dan pengawasan.
Ketiga, memberdayakan dan memfasilitasi perempuan yang berminat dan berpotensi untuk berpolitik, baik sebagai calon maupun anggota legislatif. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai program, seperti pelatihan, bimbingan, mentoring, konsultasi, dan pemberian modal, sumber daya, dan jaringan.
Keempat, membangun dan memperkuat solidaritas dan kolaborasi antara perempuan yang berpolitik, baik di dalam maupun di luar parlemen. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai forum, seperti kaukus, aliansi, koalisi, dan jaringan. Tujuannya adalah untuk saling mendukung, berbagi, dan bersinergi dalam mewujudkan aspirasi, kepentingan, dan agenda perempuan dalam politik.
Meskipun perempuan memiliki peran yang begitu banyak, mulai dari mengurus diri sendiri, anak-anak, hingga membantu mencari nafkah. Namun, perempuan memiliki kelebihan yang begitu banyak dibanding pria. Apa saja? Perempuan merupakan komunikator dan komunikan yang baik. Perempuan tidak suka mengambil resiko di hidupnya, maka ketika akan melakukan atau membuat suatu kebijakan, mereka akan berpikir ulang agar tidak terjadi resiko besar. Perempuan dinilai dapat menangani stres lebih baik, sehingga bisa lebih fokus. Lebih mampu multitasking. Memiliki memori yang tajam. Serta, lebih mampu dalam mengelola suatu hal agar lebih tertata.
Dari kelebihan-kelebihan itu, perempuan bisa menjadi penyeimbang dalam membuat keputusan. Terlebih untuk kepentingan kaum perempuan, karena para perempuan itu sendiri yang bisa menyelamatkan kaumnya. Maka, feminisme sangat penting di dalam dunia politik. (*)
Komik Audio Visual, Cara Kreatif Guru Tingkatkan Literasi Numerasi Siswa |
![]() |
---|
Layanan Digital Tingkatkan Kepatuhan Pajak, DJP Dorong Wajib Pajak Beradaptasi |
![]() |
---|
Sudah Seberapa Soedirman Kah Kita? Refleksi Sudirman Said di Tanah Kelahiran Jenderal Soedirman |
![]() |
---|
PGSD dan Era Digital: Mencetak Generasi Kritis, Kreatif, dan Kolaboratif |
![]() |
---|
Viral: dari Popularitas ke Profitabilitas Membedah Nilai Ekonomi di Balik Fenomena Viral |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.