Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Blora

Tari Teatrikal ‘Sangkan Paraning Dumadi’ Akan Digelar di Taman Tirtonadi Blora

Pertunjukan tari teatrikal bertajuk ‘Sangkan Paraning Dumadi’ akan digelar di Panggung Taman Tirtonadi Blora pada Selasa, (9/7/2024) pukul 19.00-21.00

Penulis: M Iqbal Shukri | Editor: Catur waskito Edy
IST
Pamflet jadwal Festival Budaya Spiritual di Blora. 

TRIBUNJATENG.COM, BLORA - Pertunjukan tari teatrikal bertajuk ‘Sangkan Paraning Dumadi’ akan digelar di Panggung Taman Tirtonadi Blora pada Selasa, (9/7/2024) pukul 19.00-21.00. 

Pentas itu merupakan kolaborasi dari Komunitas Eksotika Desa dan Sangar Tari Avadana yang berasal dari Borobudur, Magelang.

Selain itu, pertunjukan tersebut merupakan salah satu rangkaian acara Festival Budaya Spritual Kabupaten Blora 2024.

Festival Budaya Spiritual diselenggarakan oleh Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kemendikbudristek RI bekerjasama dengan Pemkab Blora pada tanggal 8 – 10 Juli 2024. 

Dalam rangkaian acara yang digelar selama tiga hari tersebut, akan diisi berbagai kegiatan diantaranya adalah Gelar Seni Pertunjukan Rakyat yang akan menampilkan tayub/ ledek barangan, wayang krucil, barongan lodra dan jedoran. Acara lainnya adalah sarasehan dengan mengangkat tema ‘Laku Sikep dan Relevansinya di Era Kekinian’ dan Rembug Sedulur Sikep.

Panji Kusumah, Ketua Eksotika Desa sekaligus kurator pertunjukan tersebut menyebutkan bahwa pertunjukan tari teatrikal ini menyampaikan pesan-pesan kearifan hidup masyarakat Jawa.

"Rangkaian perjalanan hidup manusia tersebut dikemas menjadi suatu pertunjukan tari teaterikal dengan judul 'Sangkan Paraning Dumadi' ini sebagai upaya untuk menyampaikan pesan-pesan kearifan hidup masyarakat Jawa, senyampang dengan tuntunan hidup manusia agar senantiasa berlaku hamemayu hayuning bhawana,” jelasnya, dalam rilis yang diterima Tribunjateng, Senin (8/7/2024)

Ia menambahkan bahwa melalui sebelas metrum macapat yang menggambarkan siklus hidup manusia.

"Dalam budaya Jawa, sebelas pola metrum macapat berupa Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandhanggula, Durma, Pangkur, Megatruh dan Pucung tak sekadar merupakan sekar alit, melainkan juga dipahami secara filosofis sebagai suatu perlambang perjalanan manusia dari dan menuju Tuhan, bagian dari kawruh mengenai sangkan paraning dumadi," jelasnya.

Menurut Panji, konsep ini bermula saat ia dan timnya berkunjung ke tokoh Sedulur Sikep, Mbah Lasiyo, di Blora. 

Panji menyampaikan bahwa Mbah Lasiyo menceritakan ihwal bagaimana  masyarakat  selalu mengadakan ritus untuk berdoa kepada ke sang pencipta dan bersedekah ke sesama manusia.

"Ketika manusia lahir di dunia ini ada peran orang tua. Bagaimana janin ini tumbuh dewasa dia harus berbakti pada orang tua sampai akhir hayat. Ada prosesi ritus mulai dari kehamilan, kelahiran sampai kematian dan pascakematian. Ada proses mitoni, ada siraman untuk kedua orangtua dan mandi kembang dari 7 sumber,"

"Kenapa ada 7 sumber? Tujuh itu dalam bahasa Jawa adalah pitu. Harapannya selama menunggu dari kehamilan, kelahiran dan kematian ada pitunjuk (petunjuk), pitutur (petuah) dan pitulungan (pertolongan). Mbah Lasiyo menegaskan itu. Jadi memang pentas itu harus konteksual, memasukkan unsur-unsur lokal," terangnya.

Selain air 7 sumber, tambahnya, juga ada kembang dan air dipakai untuk siraman dan disiram sebanyak 7 kali. 

Kembang merupakan simbol supaya orang tua khususnya janin selalu berbau harum seperti kembang, sehingga ketika besar tidak mencemari nama baik orang tua dan tidak mencoreng keindahan yang telah diberikan kedua orang tua. 

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved