Opini
Opini Paulus Mujiran : Prahara Korupsi di Kota Semarang
KORUPSI yang dilakukan kepala daerah seolah tidak pernah berhenti. Kali ini menyasar Kota Semarang. Berita yang beredar Walikota Semarang Hevearita
Oleh Paulus Mujiran
Alumnus Pascasarjana Undip dan Pemerhati Sosial Politik
KORUPSI yang dilakukan kepala daerah seolah tidak pernah berhenti. Kali ini menyasar Kota Semarang.
Berita yang beredar Walikota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu, suaminya Alwin Basri yang juga ketua Tim Penggerak PKK Kota Semarang dan Ketua Komisi D DPRD Jawa Tengah bersama 2 orang pihak swasta yakni Martono dan Rahmat U Jangkar dicekal berpergian keluar negeri. Belum jelas status mereka apakah sudah tersangka atau sebatas saksi.
Tidak itu saja sejumlah Kepala Dinas dan kantornya juga ikut digeledah. Ada nama Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Kepala DPMPTSP Diah Suparningtias, Kepala Dinas Sosial Heroe Soekendar, Kepala Dinas Komunikasi Informatika Statiska dan Persandian Soenarto, Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Disperkim) Yudi Wibowo, Kepala Dinas Penataan Ruang (Distaru) Irwansyah, Kepala BKPP Joko Hartono, Kepala Bappeda Budi Prakoso (Tribun Jateng, 19/7).
Yang menjadi pertanyaan mengapa kepala daerah rentan korupsi? Pertama, di era otonomi daerah kabupaten/kota mempunyai kewenangan yang sangat besar dibandingkan di era sebelumnya. Tak pelak bupati/walikota yang mestinya menjadi pelayan rakyat justru menjelma menjadi “raja-raja kecil” di daerahnya.
Kekuasaan yang besar cenderung disalahgunakan untuk berbagai kepentingan dan ujung-ujungnya korupsi.
Raja Kecil
Mereka menjadikan kekuasaan sebagai sumber korupsi. Mereka sadar kekuasaan adalah “tambang emas” yang tidak pernah habis. Raja-raja kecil ini terus merajalela karena lemahnya pengawasan.
Publik Semarang tentu masih ingat pembakaran ASN Iwan Boedi Prasetyo yang merupakan saksi kasus pengalihan aset.
Ia hilang misterius jelang pemeriksaan terkait kasus korupsi (detiknews, 19/7 2022). Tak pelak Kemendagri merilis data sepanjang 2014-2019 terdapat 124 bupati/walikota terjerat kasus korupsi, sedangkan data Indonesian Corruption Watch sepanjang 2021-2023 ada sebanyak 61 kepala daerah terjerat kasus korupsi.
Kedua, partai politik turut andil terhadap maraknya korupsi kepala daerah. Yang sering kita dengar belakangan ini politik biaya tinggi waktu pemilihan presiden, legislatif hingga maju kepala daerah adalah akar masalahnya.
Ketika ada kepala daerah ditangkap aparat penegak hukum partai melakukan pemecatan. Namun itu sebagai tindakan cuci tangan.
Partai harus ikut bertanggung jawab terhadap korupsi yang dilakukan seorang kepala daerah. Mahalnya biaya pencalonan, penyediaan atribut kampanye, tim sukses, membayar satgas, politik uang, dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) menyebabkan politik biaya tinggi.
Setor Mahar
Belum lagi setoran mahar kepada partai politik. Biaya puluhan hingga ratusan miliar itu harus dibiayai sendiri oleh calon kepala daerah. Mahalnya biaya politik itu menyebabkan ketika sudah terpilih mereka sekuat tenaga mengganti biaya-biaya yang sudah dikeluarkan. Caranya dengan korupsi.
Komik Audio Visual, Cara Kreatif Guru Tingkatkan Literasi Numerasi Siswa |
![]() |
---|
Layanan Digital Tingkatkan Kepatuhan Pajak, DJP Dorong Wajib Pajak Beradaptasi |
![]() |
---|
Sudah Seberapa Soedirman Kah Kita? Refleksi Sudirman Said di Tanah Kelahiran Jenderal Soedirman |
![]() |
---|
PGSD dan Era Digital: Mencetak Generasi Kritis, Kreatif, dan Kolaboratif |
![]() |
---|
Viral: dari Popularitas ke Profitabilitas Membedah Nilai Ekonomi di Balik Fenomena Viral |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.