Opini
OPINI Raihan Fudloli : Menanti Keseriusan Negara terhadap Masyarakat Adat
All Eyes on Papua belum lama ini mencuat dan menjadi perbincangan hangat khalayak di Indonesia, gerakan ini mengangkat persoalan tanah adat Suku Awyu
Oleh Raihan Fudloli
Mahasiswa Hukum Tata Negara
Wasekjend Internal PB HMI
All Eyes on Papua belum lama ini mencuat dan menjadi perbincangan hangat khalayak di Indonesia, gerakan ini mengangkat persoalan tanah adat Suku Awyu dan Suku Moy yang tanahnya akan digunakan oleh perusahaan perkebunan sawit, mereka jauh-jauh datang ke Jakarta dari Papua untuk melakukan gugatan kasasi di Mahkamah Agung sebagai upaya terakhir untuk mempertahankan tanah adatnya.
Menariknya, isu ini menjadi gerakan sosial yang meluas oleh berbagai kalangan di media sosial seperti Instagram dan X. Berkembangnya isu ini beriringan dengan beragam isu hak asasi manusia lainnya di kancah internasional, muaranya ialah bahwa di Indonesia juga terdapat potensi pelanggaran hak asasi manusia, seperti kasus tanah adat Suku Awyu dan Suku Moy di Papua.
Sejak merdekanya Indonesia hingga sekarang, banyak masyarakat adat di berbagai wilayah mengalami kasus yang berkaitan dengan hak-haknya. Butuh perjalanan yang sangat panjang bagi negara untuk mengakui secara utuh terhadap masyarakat adat, kalimat tersebut menjadi kalimat pembuka yang tepat untuk mengawali tulisan ini.
Sejak masyarakat adat disepakati untuk dijamin dalam UUD NRI 1945 hingga sekarang, belum juga masyarakat adat diakui secara penuh oleh negara. Faktor diakui atau tidaknya dapat dilihat melalui ada atau tidaknya suatu UU yang diturunkan dari UUD NRI 1945.
Mulanya pada periode 2009-2014, menjadi berita baik bagi masyarakat adat bahwa diusulkannya RUU terkait dalam Prolegnas, judul RUU yang diusulkan ialah RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hukum Masyarakat Adat (RUU PPHMA) yang pertama kali masuk Program Legislasi Nasional pada tahun 2012 dan menjadi RUU inisiatif DPR pada 11 April 2013.
Pembahasan dimulai dengan pembentukan Panitia Khusus oleh DPR dan penunjukan beberapa kementerian oleh Presiden. Namun, pembahasan terhambat oleh ketidakhadiran para menteri dalam rapat. Pada 5 Februari 2014, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pansus, hanya empat anggota yang hadir. Hingga akhir masa bakti DPR periode 2009-2014, RUU PPHMA tidak selesai dibahas.
Kemudian, pada periode 2014-2019 setelah tidak selesai di periode sebelumnya, RUU ini disulkan dengan judul yang berbeda dari sebelumnya, yaitu RUU tentang Masyarakat Adat yang menjadi RUU inisiatif DPR pada 2017 dan resmi diusulkan pada 12 Februari 2018. Presiden mengeluarkan Surat Perintah pada 9 Maret 2018 untuk pembentukan tim pemerintah dalam pembahasan RUU ini.
Meski, pembahasan dilakukan dan mendapat dukungan dari berbagai organisasi masyarakat sipil, hingga akhir masa jabatan DPR 2014-2019, pembahasan RUU ini tidak kunjung selesai karena pemerintah tidak menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) kepada DPR RI.
Kini, pada periode 2019-2024 RUU ini diusulkan dengan judul yang berbeda lagi dari sebelum-sebelumnya, yaitu RUU tentang Masyarakat Hukum Adat yang masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2020 dengan dukungan dari beberapa fraksi.
Hal itu tentu memberi secercah harapan bagi masyarakat adat yang sudah menunggu berpuluh-puluh tahun untuk adanya payung hukum bagi mereka. Pada 4 September 2020, Badan Legislatif DPR RI menyetujui RUU ini untuk diharmonisasi dan sinkronisasi, namun, belum ada proses lanjutan mengenai RUU Masyarakat Hukum Adat hingga kini.
Padahal sudah banyak usulan dari berbagai unsur masyarakat yang mendorong untuk segera disahkannya RUU tentang Masyarakat Hukum Adat sebagai bentuk ketegasan pemerintah dalam pengakuan bagi masyarakat adat.
Secara das sollen bentuk pengakuan tersebut sebenarnya pemerintah telah menjamin, yaitu dengan memperjuangkan tercapainya pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak tradisional. Hak-hak konstitusional yang dimaksud adalah hak-hak dasar dan hak kebebasan dasar setiap warga negara, terkait dengan pendidikan, pekerjaan, kesetaraan di depan hukum, hak sosial ekonomi, kebebasan berpendapat, hak untuk hidup dan memiliki tempat tinggal yang dijamin oleh UUD NRI 1945.
Sedangkan, hak-hak tradisional yaitu hak-hak khusus yang melekat dan dimiliki oleh suatu komunitas masyarakat atas adanya kesamaan asal-usul, kesamaan wilayah, dan obyek-obyek adat lainnya, hak atas tanah ulayat, sungai, hutan dan dipraktikkan dalam masyarakatnya.
Komik Audio Visual, Cara Kreatif Guru Tingkatkan Literasi Numerasi Siswa |
![]() |
---|
Layanan Digital Tingkatkan Kepatuhan Pajak, DJP Dorong Wajib Pajak Beradaptasi |
![]() |
---|
Sudah Seberapa Soedirman Kah Kita? Refleksi Sudirman Said di Tanah Kelahiran Jenderal Soedirman |
![]() |
---|
PGSD dan Era Digital: Mencetak Generasi Kritis, Kreatif, dan Kolaboratif |
![]() |
---|
Viral: dari Popularitas ke Profitabilitas Membedah Nilai Ekonomi di Balik Fenomena Viral |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.