Opini
Menakar Keberpihakan Negara Terhadap Politeknik Swasta
Politeknik memiliki sejarah yang terkait erat dengan kebutuhan pengembangan pendidikan vokasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
● Sumber Daya Manusia (SDM): Dosen di politeknik swasta sering kali menghadapi tantangan terkait peningkatan kompetensi.
Selain kualifikasi akademik, tenaga pengajar vokasional juga harus memiliki pengalaman praktis di industri maupun sertifikasi kompetensi, program-program dari Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Vokasi dalam meningkatkan kualitas pengajar yang meliputi magang, pelatihan, dan sertifikasi belum sepenuhnya bisa banyak menyasar dosen pada politeknik swasta, yang pada akhirnya terkadang dosen tersebut sulit dipertahankan di politeknik swasta karena keterbatasan dana untuk memberikan akses dalam peningkatan kompetensi atau insentif yang kompetitif, karena tidak sebanding dengan tuntutan kualifikasinya.
● Akses Kerja Sama dengan Industri: Hubungan antara politeknik swasta dan dunia industri belum sekuat yang diharapkan. Sementara perguruan tinggi negeri lebih mudah menjalin kerja sama strategis dengan industri, politeknik swasta sering kali mengalami kesulitan dalam mengakses mitra industri besar untuk mendapatkan CSR (Corporate Social Responsibility), menyalurkan alumni untuk penempatan kerja, program beasiswa untuk mahasiswa, atau dana hibah penelitian terapan.
● Stigma terhadap Politeknik Swasta. Politeknik Swasta masih sering dijadikan sebagai pilihan terakhir oleh calon mahasiswa baru dan orang tuanya dalam menentukan pilihan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Tidak sedikit masyarakat yang memandang politeknik swasta sebagai pilihan yang kurang prestisius, kurang bergengsi atau kelas akhir, sehingga menyebabkan rendahnya minat
terhadap politeknik swasta.
● Persaingan dalam Penerimaan Mahasiswa Baru yang Semakin Kompetitif. Setelah diterbitkannya regulasi mengenai PTN BH dan PTN BLU, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) berlomba-lomba menerima banyak mahasiswa baru dengan membuka berbagai macam skema masuk PTN untuk membiayai operasional dan memperkaya kampus.
Terlebih setelah Perguruan Tinggi akademik juga diberikan keleluasaan untuk menyelenggarakan program studi vokasi.
Hal ini membuat kesenjangan dan permasalahan tersendiri bagi politeknik swasta, karena persaingan dalam mendapatkan mahasiswa baru semakin kompetitif dan semakin sulit, bargaining position politeknik swasta-pun cukup jauh jika dibandingkan dengan PTN atau PT akademik.
● Instrumen akreditasi pendidikan vokasi. Perlunya penyesuaian atau pembeda penilaian penjaminan mutu melalui BAN-PT pada instrumen akreditasi khusus untuk Pendidikan Tinggi Vokasi, sehingga pendekatannya tidak menggunakan pendekatan akademik, seperti publikasi ilmiah jurnal scopus atau syarat perlu dosen berkualifikasi S3 (yang tentunya ini cukup berat dijangkau oleh oleh pengelola politeknik swasta).
Dalam menjalankan perannya sebagai penyelenggara pendidikan vokasi, keberlangsungan politeknik swasta sangat perlu didukung dengan kehadiran dan peran negara lebih jauh, keberpihakan negara terhadap politeknik swasta perlu dikonkritkan dengan beragam kebijakan inklusif-nya, seperti: pemberian subsidi atau insentif khusus terutama untuk keperluan fasilitas dan infrastruktur praktikum, memfasilitasi dalam menjalin kerja sama strategis dengan sektor industri dalam program untuk mendapatkan CSR (Corporate Social Responsibility), menyalurkan alumni untuk penempatan kerja, program beasiswa untuk mahasiswa, atau dana hibah penelitian terapan.
Politeknik swasta juga mesti diberikan akses yang lebih besar terhadap skema pendanaan nasional, seperti BOPTN dan hibah riset terapan. Disamping itu, pemerintah perlu memperluas cakupan pelatihan dan sertifikasi bagi dosen di politeknik swasta, terutama untuk pengembangan kompetensi praktis yang sesuai dengan tuntutan industri, serta me-review ulang instrumen akreditasi yang diperuntukan bagi pendidikan vokasi agar dapat menggunakan instrumen dengan pendekatan vokasional.
Namun demikian kebijakan yang sangat ditunggu untuk menghadapi tantangan yang paling krusial bagi politeknik swasta adalah terkait dengan kampanye khusus untuk politeknik, negara perlu hadir untuk mengkampanyekan dan mencitrakan politeknik dengan citra yang positif, sehingga stigma masyarakat terhadap politeknik akan jauh lebih baik lagi, sama halnya saat pemerintah mencitrakan SMK menjadi SMK Bisa dan SMK Hebat.
Disamping itu, kebijakan mengenai program penerimaan mahasiswa baru di PTN yang berstatus PTN-BH dan PTN-BLU, serta pendirian prodi vokasi di perguruan tinggi akademik perlu ditinjau ulang.
Negara perlu hadir, intervensi - mengatur secara tegas batas kuota maksimal dan waktu bagi di PTN dalam melaksanakan penerimaan mahasiswa baru, sehingga tidak terkesan “ugal-ugalan” dan abai terhadap institusi pendidikan tinggi lain yang pengelolaannya bersumber dari biaya yang dibayarkan mahasiswa.
Pendirian prodi vokasi di perguruan tinggi akademik secara besar-besaran juga menyebabkan tidak ada lagi dikotomi antara pendidikan tinggi akademik dan pendidikan tinggi vokasi, ruh vokasi yang sebelumnya melekat di politeknik, sekarang menjadi bias dan tidak jelas, ceruk calon mahasiswa yang sebelumnya berminat ke politeknik-pun juga dengan mudah beralih ke perguruan tinggi akademik yang memiliki prodi vokasi.
Komik Audio Visual, Cara Kreatif Guru Tingkatkan Literasi Numerasi Siswa |
![]() |
---|
Layanan Digital Tingkatkan Kepatuhan Pajak, DJP Dorong Wajib Pajak Beradaptasi |
![]() |
---|
Sudah Seberapa Soedirman Kah Kita? Refleksi Sudirman Said di Tanah Kelahiran Jenderal Soedirman |
![]() |
---|
PGSD dan Era Digital: Mencetak Generasi Kritis, Kreatif, dan Kolaboratif |
![]() |
---|
Viral: dari Popularitas ke Profitabilitas Membedah Nilai Ekonomi di Balik Fenomena Viral |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.