Berita Ekonomi
Jangan-jangan Hanya Gimmick! Ekonom Minta Ada Rincian Barang Mewah yang Kena PPN 12 Persen
Ia justru khawatir istilah barang mewah hanya digunakan pemerintah untuk menjadi gimmick semata agar bisa meredam penolakan masyarakat
TRIBUNJATENG.COM - Pemerintah telah memastikan tetap menerapkan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025, tetapi hanya dipungut dari barang-barang mewah.
Menanggapi hal itu, Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar mengatakan, pemerintah harus merincikan apa saja barang mewah yang akan dikenakan PPN 12 persen mulai tahun depan.
"Masalahnya, kita belum tahu barang mewah yang dimaksud pemerintah ini apakah barang mewah yang selama ini ada di bawah aturan perpajakan yang dikenai PPnBM, atau perlu ada perincian lanjutan soal definisi barang mewah ini. Ini tricky, karena sampai saat ini kita kan belum tahu," ujarnya, kepada Kompas.com, dikutip Minggu (8/12).
Baca juga: PPN 12 Persen Berlaku Mulai 1 Januari 2025, Tapi. . .
Ia justru khawatir istilah barang mewah hanya digunakan pemerintah untuk menjadi gimmick semata agar bisa meredam penolakan masyarakat atas kenaikan tarif PPN.
Askar menuturkan, bisa jadi barang mewah yang dimaksud pemerintah merujuk pada barang yang tidak benar-benar mewah.
Itu artinya, kenaikan tarif PPN tahun depan tetap akan memberatkan masyarakat menengah ke bawah.
"Bisa jadi barang kebutuhan sehari-hari yang dikonsumsi oleh masyarakat menengah ke bawah. Dan kalau memang itu bukan barang mewah, artinya itu barang pokok atau kebutuhan sehari-hari, maka implikasinya juga pasti akan tetap signifikan," ucapnya.
Terlebih, jika menengok target pendapatan negara pada 2025 dari setoran penerimaan PPN mencapai Rp 917,78 triliun, meningkat 18,23 persen dari target tahun ini sebesar Rp 776,23 triliun, Askar menyebut, angka itu akan sulit dicapai jika tarif PPN 12 persen hanya diterapkan untuk barang mewah.
"Artinya, sepertinya plannya masih plan A, penerapan PPN untuk hampir semua komoditas, kecuali komoditas tertentu. Dan barang mewah yang dimaksud Pak Misbakhun (anggota DPR) kemarin sepertinya, ini asumsi saya ya, ini hanya gimmick saja untuk menekan atau merespons persepsi publik yang menolak PPN, dan ini harus dicermati terus selama beberapa minggu ke depan," tuturnya.
Pertanyaan serupa juga dilontarkan ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat.
"Pemerintah sering menggunakan istilah 'barang mewah' tanpa mendefinisikan secara jelas apa saja yang termasuk dalam kategori ini," tukasnya, dalam keterangan tertulis, Minggu (8/12).
Menurut dia, dalam konteks pajak, barang mewah biasanya mencakup produk seperti kendaraan bermotor premium, perhiasan, barang elektronik mahal, dan properti dengan nilai tertentu.
Tidak sesuai
Namun, batasan nilai barang yang dianggap mewah sering kali tidak sesuai dengan daya beli masyarakat pada tingkat menengah ke bawah.
Sebab, dalam situasi inflasi atau kenaikan harga barang, produk yang sebelumnya dianggap sebagai kebutuhan sekunder dapat dengan mudah masuk ke kategori barang mewah.
Pasca Panen Raya, Inflasi Jateng Masih Terjaga |
![]() |
---|
Tak Hanya Ramah Lingkungan, Penggunaan Biofuel Gerakkan Ekonomi Lokal |
![]() |
---|
Bahan Bakar Baru Digencarkan, Akademisi Ungkap Keunggulan Teknis Biofuel |
![]() |
---|
Pelaku UMKM Di Semarang Didorong Investasi di Pasar Modal |
![]() |
---|
Dorong Ekonomi Berkelanjutan, Kadin Kota Semarang Kolaborasi Perkuat Ekosistem Bisnis |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.