Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Jateng

Pakar Hukum Soal Pemerasan DWP 2024: Dua Tingkat Atasannya Harus Ikut Tanggung Jawab

Peristiwa pemerasan oleh sekawanan oknum polisi terhadap Warga Negara Asing (WNA) saat menonton

Editor: muh radlis
istimewa
Pakar hukum Prof Dr Henry Indraguna 

TRIBUNJATENG.COM, COM, SEMARANG - Peristiwa pemerasan oleh sekawanan oknum polisi terhadap Warga Negara Asing (WNA) saat menonton Djakarta Warehouse Project (DWP) di JIExpo Kemayoran, Jakarta, mendapat sorotan Pakar hukum Prof. Dr. Henry Indraguna, SH.MH. 

Ia menyebutkan bahwa Kapolri melalui bawahannya sudah bertindak cukup cepat dan tegas, tindakan diambil tanpa ada laporan dari mereka yang dirugikan.

Prof Henry mengungkapkan banyaknya perwira Polri yang dimutasi karena telah melanggar sumpah Tri Brata menunjukkan keseriusan Pimpinan Polri tidak mentolerir tindakan aparat yang merugikan kepentingan masyarakat. 

"Ada semacam aturan bahwa siapapun anak buahnya yang bersalah, dua tingkat di atasnya akan ikut bertanggungjawab," ungkap Prof Henry.

Doktor Ilmu Hukum dari UNS Surakarta dan Universitas Borobudur Jakarta ini meminta masyarakat tak langsung menggeneralisasi bahwa perilaku oknum tersebut menjadi perilaku institusional kepolisian. Ini karena polisi yang baik pun dan sangat baik masih berlimpah bekerja memberikan pelayanan melindungi dan mengayomi masyarakat. 

"Salah satu buktinya, mereka (Polri-red) masih mau memeriksa dan tak melindungi sejawatnya atas tindakan yang melanggar hukum," tandasnya. 

Tindakan mutasi dan pencopotan jabatan itu, kata Profesor dari Unissula Semarang tersebut, adalah hal yang proporsional. Tentu saja sifatnya sementara sambil menunggu pemeriksaan oleh Divisi Propam. Dari hasil pemeriksaan itu nanti akan dilihat yang benar-benar terlibat aktif dan ikut berkontribusi dalam pelanggaran maka akan mendapatkan konsekuensi hukum dan peraturan karena jabatannya. 

"Tentu ini akan menjadi dasar bagi tindakan berikutnya. Saya percaya Polri akan bersikap profesional. Apalagi kasus ini cukup mendapat sorotan publik. Tak mungkin berani bertindak melindungi anggota yang benar-benar bersalah," ucapnya. 

Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta dan Universitas Borobudur Jakarta ini menyebutkan bahwa jumlah polisi di Indonesia sejatinya sudah mendekati angka ideal. Yakni 1:213. Idealnya rasio perbandingan adalah 1:225. Artinya satu orang polisi mengawasi dan melayani 225 warga.

Namun jumlah besar ini menjadi sia-sia karena ulah oknum-oknum yang justru memperburuk citra Kepolisian yang beberapa peristiwa telah terungkap melibatkan oknum polisi nakal. 

Prof Henry menyarankan Kapolri untuk mengevaluasi secara menyeluruh catatan publik ini. Mulai dari rekruitmen yang mungkin masih ada suap menyuap, pembinaan harian, hingga penegakan aturan.

"Polisi adalah penegak hukum. Maka jika melanggar hukum dengan sengaja apalagi terencana, maka sanksinya harus lebih berat dan tegas," terangnya. 

Menurut Anggota Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini, evaluasi pembinaan, bisa juga dengan menerapkan gaya hidup yang sederhana. 

"Kesederhanaan pergaulan sehari-hari akan meminimalisir kesenjangan pada satuan basah dan kering. Karena gaji dan tunjangan yang dibayarkan oleh negara saat ini sudah lebih dari cukup. Jadi jelas alasannya bukan karena kurang kesejahteraan," kata Henry.

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved