Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Teater Semarang: Potret 20 Tahun Perjalanan dan Harapan yang Tak Pernah Padam

Dua dekade terakhir menjadi saksi perjalanan teater di Kota Semarang, sebuah seni yang dinamis

Penulis: budi susanto | Editor: muh radlis
TRIBUNJATENG/Budi Susanto
Perform sejumlah penggiat teater di Kota Semarang dalam diskusi HUT ke-20 HAE Theater di Gedung Serbaguna, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro, Sabtu (4/1/2025) lalu. 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Dua dekade terakhir menjadi saksi perjalanan teater di Kota Semarang, sebuah seni yang dinamis, penuh semangat, tetapi juga dihadang tantangan besar. 

Teater bukan sekadar pertunjukan, melainkan laboratorium kehidupan yang mencerminkan denyut kebudayaan. 

Dalam kurun waktu itu, teater kampus dan kelompok teater umum menjadi penopang regenerasi seni lokal, meski bayang-bayang kehilangan penerus terus mengintai.

Di awal tahun 2000-an, teater kampus di Semarang mulai menggeliat. Ketua Dewan Kesenian Semarang, Adithia Armitrianto, mengenang masa itu sebagai kebangkitan. 

“Teater kampus saat itu mulai ramai, dengan kelompok teater umum seperti Teater Lingkar dan Teater Waktu tetap aktif,” katanya, Senin (6/1/2025).

Namun, perjalanan ini tidak selalu mulus. Teater Lingkar berhasil menjaga regenerasinya, sementara Teater Waktu perlahan memudar setelah wafatnya pendiri mereka, Agus Maladi.

Adithia menambahkan, dinamika tersebut tidak hanya terlihat dari keberlangsungan kelompok teater, tetapi juga dari karya yang dipentaskan. 

“Bentuk pentas dan eksplorasi naskah selama 20 tahun terakhir mencerminkan perkembangan teater di Semarang,” ujarnya.

Awal 2000-an, suasana pasca reformasi memberikan warna baru bagi teater kampus di Semarang. 

Khothibul Umam, akademisi sekaligus pelaku seni teater, menyebut masa itu sebagai era penuh eksplorasi. 

“Teater kampus meninggalkan karya-karya pamflet politik dan mulai mengeksplorasi artistik dengan lebih mendalam,” kenangnya.

Kelompok teater di kampung-kampung juga turut menunjukkan geliat. Nama-nama seperti Roda Gila, Kelab-Kelib Bersaudara, Sawo Kecik, dan Nawiji muncul, diisi oleh para alumni teater kampus yang masih haus berkarya. 

Namun, setelah masa itu, regenerasi menjadi isu utama. Banyak alumni teater kampus yang meninggalkan dunia seni setelah lulus, memilih jalan hidup lain karena tuntutan ekonomi.

“Tekanan ekonomi adalah salah satu tantangan terbesar dalam regenerasi teater di Semarang,” ungkap Umam. 

Ia menambahkan, tanpa regenerasi yang kuat, keberlangsungan teater menjadi rapuh.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved