Kuliner
Segarnya ES Campur Pak Wawi Layur, Nostalgia Rasa yang Tak Pernah Tua di Sudut Kampung Melayu
Puluhan orang sabar menanti satu hal yang sama untuk semangkuk es campur legendaris dari Warung Es Pak Wawi Layur.
Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: rival al manaf
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Pada sebuah gang sempit di sebelah Klenteng Kam Hok Bio, Sabtu (12/4/2025) siang itu, matahari menggantung tinggi di langit Semarang.
Udara terasa lengket, panas, dan menyengat. Namun di balik terik yang menyiksa, puluhan orang terlihat berkerumun, sebagian berdiri, sebagian duduk di bangku plastik ataupun kayu, sabar menanti satu hal yang sama untuk semangkuk es campur legendaris dari Warung Es Pak Wawi Layur.
Dari sudut gang, samar terdengar bunyi krek... krek... krek.. suara khas serutan es batu dari alat tua yang telah pudar warnanya.
Suara itu tidak asing bagi banyak warga Semarang. Dia bukan hanya tanda bahwa warung sedang buka, melainkan juga sebagai penanda pelepasan dahaga.
Suara tersebut telah ada sejak puluhan tahun lalu, melayani generasi demi generasi, dari tangan kakek, ke ayah, dan kini ke putri Saodah.
“Dulu waktu bapak yang jual, belum ada ketan hitam,” ujar Saodah, sambil menunduk, tangannya tak henti memutar gilingan es serut tua.
“Sekarang saya tambahin biar lebih lengkap,” sambungnya.
Saodah adalah generasi ketiga dari keluarga penjaga rasa ini. Dia kini memimpin operasional warung dibantu oleh tiga saudaranya.
Ada yang bertugas menyerut es dengan gerakan yang sudah seperti refleks, ada yang menuang kolang-kaling dan cao, ada pula yang mengatur roti tawar, tape, dan kacang hijau.
Es campur di sini bukan sekadar minuman pelepas dahaga. Dia adalah bagian dari memori nostalgia banyak orang.
Setiap sendok yang disuapkan bukan hanya membawa rasa manis dan segar, tapi juga membawa kenangan tentang masa kecil, kisah cinta, atau cerita anak kecil yang rela menabung receh untuk menikmati seporsi es.
Warung ini tak memiliki papan nama mencolok. Lokasinya pun tersembunyi, masuk dari gang kecil di samping klenteng.
Tapi bagi mereka yang tahu, merupakan serpihan surga kecil di tengah kota. Banyak yang menyebutnya hidden gem.
Tak terhitung jumlah pelancong dari luar kota yang datang hanya karena mendengar cerita dari mulut ke mulut, maupun internet.
Dalam sehari, sedikitnya 150 porsi es campur ludes. Jumlah itu bisa melonjak saat akhir pekan.
Antrean panjang bukan pemandangan aneh.
Namun yang datang tak pernah mengeluh. Mereka tahu, waktu tunggu itu sepadan dengan rasa yang mereka dapatkan.
Menariknya, meski serutan es tua itu tetap setia digunakan sejak zaman kakeknya, Warung Es Campur Pak Wawi kini mulai menyesuaikan diri dengan zaman.
Di tengah kesederhanaan bangku plastik dan kayu, juga suara serutan es batu. Terdapat code QRIS dari BRI yang terpampang di meja putih, yang menjadi pembatas pembeli dan pedagang.
Bagi Saodah, menerima pembayaran non-tunai bukan semata soal ikut tren. Tapi bentuk adaptasi pada kebiasaan generasi sekarang yang lebih sering membawa ponsel ketimbang dompet berisi uang kertas.
“Banyak anak muda yang datang, kadang mereka lupa bawa uang tunai. Jadi kami sediain QRIS. Tinggal scan, langsung bisa bayar,” jelasnya.
Saodah juga merasa terbantu, karena biaya administrasi dari QRIS BRI sangat ringan. Dibandingkan dengan manfaat yang dia dan pelanggannya terima.
Di warung kecil itu, sentuhan teknologi hadir tanpa mengusik keaslian. Justru dia menambah kenyamanan pelanggannya untuk membuat cerita-cerita baru tumbuh dari generasi yang berbeda, namun tetap terikat oleh satu rasa yang tak pernah berubah.
Kapsul Waktu Di Sudut Kampung Melayu
Tentu warung tersebut menjelma menjadi kapsul waktu, alat serut es yang digunakan di warung ini masih manual yang terbuat dari besi, berat, dan mulai berkarat. Namun justru di situlah daya tariknya.
Setiap suara yang dihasilkannya seperti membangkitkan ingatan.
Dia telah melihat ratusan, bahkan ribuan wajah anak-anak kecil dengan seragam sekolah, remaja jatuh cinta, orang tua yang kembali membawa cucunya, semua pernah berdiri di hadapannya.
Serutan itu menjadi saksi sejarah yang tak tertulis. Dia tahu betul aroma sirop yang dulu lebih encer, atau mangkuk yang berganti warna. Tapi satu yang tetap yakni rasa.
Warung Es Campur Pak Wawi adalah contoh kecil bagaimana kuliner bisa menjadi warisan. Dia tidak didirikan dengan niat menjadi legenda, tapi tumbuh dari ketekunan dan kesetiaan menjaga rasa.
Warung yang menjadi kapsul waktu itu telah menyatu dengan kehidupan warga. Dia hadir saat suka dan duka, menjadi teman setia dalam cerita-cerita kecil yang begitu berarti.
Di tengah dunia yang bergerak cepat, warung ini adalah pengingat bahwa kesederhanaan bisa bertahan.
Juga bahwa dalam semangkuk es campur, seseorang bisa menemukan pulang entah pada kenangan, pada rasa, atau pada dirinya sendiri.
Memori dalam Mangkok Putih

Sri Wahyuni. Dia mengingat dengan jelas masa sekolahnya di awal 90-an. Uang saku dia sisihkan hanya untuk bisa beli es campur dari tangan Pak Wawi sendiri.
“Dulu Rp750 dapat semangkuk kecil, yang besar Rp1.500. Sekarang Rp8 ribu sampai Rp11 ribuan, tapi rasanya masih sama. Itu yang bikin saya balik terus,” ujarnya.
Cerita lainnya juga datang dari Anggun, salah satu pelanggan tetap, mengenang masa mudanya yang penuh cinta pada semangkuk es campur.
“Dulu waktu masih pacaran, saya dan suami sering ke sini. Siang-siang, kepanasan, kita duduk di bangku ini, berbagi cerita, saling suapi es,” kenangnya sambil tertawa kecil.
Kini dia sudah menikah. Tapi setiap kali menyendok es dari mangkuk putih itu, dia merasa seperti kembali ke waktu dia pacaran.
“Dari dulu sampai sekarang rasanya tidak pernah berubah. Manisnya pas, segernya dapet, dan harganya juga masih ramah," katanya.
Meski harga yang murah dan terjangkau, Anggun menggunakan pembayaran dengan QRIS untuk memudahkan dirinya dan Saodah saat bertransaksi.
Tentu uang kembali menjadi sedikit sulit usai libur lebaran berakhir, karena tak jarang pembeli bertransaksi dengan uang berwarna biru dan merah muda.
"Tadi bayar pakai uang Rp100.000 ternyata tidak ada kembali, warung ada QRISnya jadi saya scan pakai BRImo. Terus masukin nominal Rp25ribu karena saya berdua sama suami terus nambah camilan juga," tuturnya sembari berjalan ke motornya yang terparkir tak jauh dari warung es. (Rad)
Rekomendasi Kuliner Khas Jepara, Lontong Gebyur Seporsi Cuma Rp 10 Ribu |
![]() |
---|
Rekomendasi Kuliner Receh di Tegal, Cuma Sepuluh Ribu, Rasa Gurih Asin Segar |
![]() |
---|
Sensasi Makan Bareng Selera Nusantara, Beragam Menu dalam Satu Paket |
![]() |
---|
Aston Inn Pandanaran Semarang Luncurkan Ragam Hidangan Terbaru |
![]() |
---|
Sudah Sejak 1990, Jalan Sawo Barat Tegal Jadi Sentra Kuliner Kupat Blengong |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.