Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Kebudayaan

"Dulu Disebut Makan Manusia" Kisah Pilu Nenek Gelam, Menyesal Potong Telinga Karena Malu

Ia resah karena kini semakin sedikit generasi di bawahnya yang mau menerapkan identitas kebudayaan wanita dayak seperti tato dan telinga panjang.

Penulis: Val | Editor: rival al manaf
(KOMPAS.com/Pandawa Borniat)
SUKU DAYAK - Nenek Gelam (75) menjadi saksi hidup tradisi Dayak Kenyah yang perlahan ditinggalkan. Tato di tubuhnya bukan sekadar seni, melainkan identitas yang nyaris punah. 

Bukan sekadar gambar, tato-tato itu adalah simbol, penanda status bangsawan dan kecantikan bagi perempuan Dayak Kenyah di masanya.

Ia mulai ditato sejak usia 16 tahun, sebuah tradisi yang kala itu menjadi kebanggaan dan identitas yang tak terpisahkan.

Nenek Gelam masih ingat betul, masa-masa ketika ia masih berkumpul dengan komunitasnya di kampung halaman lamanya, Long Nawan, Kalimantan Utara.

Saat itu, banyak perempuan Dayak yang bangga mengenakan tato dan memanjangkan telinga mereka dengan anting-anting pemberat.

Namun, kini, Nenek Gelam adalah salah satu dari sedikit yang tersisa, mungkin bisa disebut generasi terakhir yang masih mempertahankan tato leluhur tersebut.

Ada satu penyesalan mendalam yang ia simpan.

"Dulu, saat saya masuk ke kota, orang Dayak sering disebut-sebut makan manusia," kenang Nenek Gelam dengan nada getir pada Sabtu (21/6/2025).

Rasa malu dan stigma yang melekat pada saat itu mendorongnya untuk mengambil keputusan yang kini ia sesali: memotong telinga panjangnya yang khas Dayak.

Identitas visual yang begitu kuat, yang membedakannya dari orang lain, terpaksa ia korbankan demi menghindari cibiran dan pandangan negatif masyarakat kota.

Kisah Nenek Gelam tak berhenti di sana. Ia memiliki lima orang anak dan sepuluh orang cucu.

Ironisnya, tak satupun dari keturunannya yang meneruskan tradisi tato ataupun telinga panjang.

"Mereka malu untuk pakai itu lagi di zaman sekarang," ujar Nenek Gelam, suaranya sarat akan kekecewaan namun juga pengertian.

Bagi mereka, tradisi tersebut mungkin terasa kuno dan tidak relevan dengan kehidupan modern.

Padahal, bagi Nenek Gelam, hal itulah yang menentukan sebuah budaya dan tradisi, yang membentuk identitas diri seorang Dayak Kenyah.

Nenek Gelam adalah sejarah budaya yang hidup, sebuah aset yang berjalan di tengah modernisasi.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved