Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

UIN SAIZU Purwokerto

Wilāyat al-Faqīh dan Ekonomi Iran: Kajian Politik-Spiritual dalam Lanskap Ekonomi Global

Berikut essai karya Dr. Muhammad Ashshiddiqy, akademisi UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.

Editor: M Zainal Arifin
Istimewa
Dr. Muhammad Ashshiddiqy, Akademisi UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. 

Oleh: Dr. Muhammad Ashshiddiqy, Akademisi UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto

SEMINGGU terakhir, dunia kembali menyorot Iran dan tokoh sentralnya: Ayatollah Ali Khamenei. Tokoh yang sering disebut-sebut sebagai “Pemimpin Tertinggi” Iran ini memegang peran yang sangat unik dalam sejarah politik modern: pemimpin spiritual sekaligus pemegang otoritas politik tertinggi di negara republik yang mengusung ideologi keagamaan. Tapi siapa sebenarnya Ayatollah Khamenei? Apa model pemerintahan Iran yang mendasari kekuasaannya? Dan yang tak kalah penting: bagaimana sistem ini memengaruhi dan membentuk sistem ekonomi Iran?

Jawabannya terletak dalam satu konsep yang khas dalam Syiah Imamiyah: Wilāyat al-Faqīh (ولاية الفقيه).

1. Konsep Dasar Wilāyat al-Faqīh

Secara bahasa, Wilāyah berarti kepemimpinan atau otoritas. Sedangkan Faqīh adalah seorang ahli fikih (hukum Islam). Dalam Syiah Imamiyah, terdapat keyakinan bahwa selama masa ghaibah (hilangnya dari pandangan) Imam Mahdi ke-12, umat Islam tetap membutuhkan kepemimpinan dalam urusan agama dan dunia. Oleh sebab itu, seorang faqih yang memenuhi syarat – yaitu adil, berilmu tinggi, tidak ambisius terhadap dunia, dan memiliki kemampuan administratif – layak untuk memimpin masyarakat.

Imam Khomeini (w. 1989) adalah tokoh yang merevitalisasi konsep ini menjadi kekuatan politik nyata. Dalam revolusi Islam Iran 1979, beliau menyatukan semangat rakyat, ideologi keagamaan, dan perlawanan terhadap monarki Shah Iran dalam bingkai Wilāyat al-Faqīh. Sejak saat itu, Iran menjadi satu-satunya negara yang menjadikan ulama sebagai pemimpin tertinggi negara secara resmi dan konstitusional.

2. Sistem Pemerintahan Iran dan Peran Wali al-Faqih

Konstitusi Iran menempatkan Wali al-Faqih sebagai otoritas tertinggi negara. Di bawahnya ada presiden, parlemen, pengadilan, serta Dewan Penjaga Konstitusi yang berfungsi menjaga kesesuaian hukum dengan syariat Islam dan konstitusi.

Wewenang Ayatollah Ali Khamenei sebagai Wali al-Faqih sangat luas:

• Menentukan arah kebijakan strategis nasional

• Memegang kendali militer dan keamanan nasional

• Menunjuk kepala kehakiman dan media nasional

• Mengawasi pemilu dan mengesahkan kandidat penting

• Memberi persetujuan akhir terhadap undang-undang penting

Di luar itu, Wali al-Faqih juga menjadi simbol keutuhan ideologi negara dan pelindung nilai-nilai Islam revolusioner.

3. Ekonomi Iran: Mandiri di Tengah Embargo

Satu hal yang tak bisa diabaikan: Iran tetap bertahan, bahkan berkembang, di tengah embargo ekonomi dan tekanan geopolitik selama lebih dari empat dekade. Sejak embargo Amerika Serikat tahun 1979, Iran berupaya membangun sistem ekonomi tersendiri. Meski menghadapi kesulitan, mereka berhasil menunjukkan bentuk ekonomi resistensial yang mandiri, kreatif, dan berbasis solidaritas sosial.

Dalam kerangka Syiah, terdapat nilai penting yang menopang ekonomi Iran: keadilan sosial, distribusi kekayaan, dan perlawanan terhadap penindasan ekonomi oleh kekuatan asing. Hal ini dijabarkan melalui model-model institusi berikut:

4. Ekonomi Islam ala Syiah: Konsep Teori dan Implementasi

a. Baitul Māl Modern: “Setad” dan Yayasan Khoms

Iran membentuk berbagai lembaga semi-negara yang mirip baitul māl, seperti:

• Setad (Headquarters for Executing the Order of the Imam), yaitu yayasan yang mengelola aset besar hasil nasionalisasi harta rezim lama dan digunakan untuk pembangunan ekonomi rakyat miskin.

• Yayasan Khoms dan Zakat, yang mengelola dana keagamaan dari masyarakat dan disalurkan untuk membiayai pendidikan, rumah sakit, dan layanan sosial, terutama bagi keluarga syuhada dan fakir miskin.

b. Ekonomi Perlawanan (Muqāwamah Iqtishādī)

Istilah ini menjadi jargon resmi dalam strategi ekonomi Iran sejak 2010-an, ketika sanksi ekonomi Amerika dan Eropa diperketat. Esensinya:

• Meminimalisir ketergantungan terhadap impor dan dolar

• Meningkatkan produksi dalam negeri (produk lokal, industri militer, pertanian, energi)

• Menjaga martabat nasional dari “ekonomi kolonial global”

c. Koperasi dan Ekonomi Rakyat

Dalam praktiknya, banyak sektor di Iran dikelola dalam bentuk koperasi. Misalnya, pembangunan desa-desa baru, pengembangan pertanian lokal, hingga produksi tekstil dan kerajinan rakyat. Negara mendorong rakyat menjadi produsen, bukan sekadar konsumen.

5. Pendidikan dan Teknologi sebagai Pilar Ekonomi

Iran menyadari bahwa kunci kekuatan masa depan adalah ilmu. Maka sejak revolusi, anggaran pendidikan dan riset selalu tinggi. Mereka menghasilkan ribuan ilmuwan dan pakar setiap tahun, termasuk di bidang:

• Fisika nuklir

• Bioteknologi

• Teknologi militer

• Farmasi dan kedokteran

• Teknik dan komputer

Yang menarik, perempuan Iran memiliki partisipasi sangat tinggi dalam pendidikan tinggi, bahkan dalam jurusan teknik dan kedokteran. Hal ini menepis stereotip bahwa sistem Islam Syiah menindas perempuan – dalam konteks Iran, justru perempuan diberi ruang luas untuk berprestasi.

6. Kritik dan Tantangan: Demokrasi, Kebebasan, dan Sanksi

Tentu saja sistem Wilāyat al-Faqīh tidak lepas dari kritik. Banyak pengamat menyebut bahwa sistem ini terlalu sentralistik dan menyulitkan demokrasi liberal. Ada pula catatan soal kebebasan politik dan hak individu. Namun perlu dicatat bahwa model ini lahir dalam konteks dunia Islam yang berhadapan dengan kolonialisme dan dominasi asing.

Iran memilih “model Islam” sebagai jalan politik dan ekonominya – bukan mengikuti sistem kapitalis Barat atau sosialisme Timur.

Sementara itu, sanksi ekonomi tetap menjadi tantangan besar. Meskipun telah menunjukkan ketahanan, inflasi, keterbatasan akses dolar, dan penurunan kualitas hidup masih menjadi masalah nyata. Namun, Iran tetap menegaskan bahwa harga kemerdekaan dan martabat tidak murah – dan ekonomi resistensi adalah bentuk jihad jangka panjang.

7. Pelajaran bagi Dunia Muslim dan Indonesia

Apa yang bisa dipetik dari model Iran dan ekonomi Syiah?

1. Kemandirian Ekonomi Itu Mungkin

 • Meski dijepit embargo, mereka bisa membangun industri lokal yang kuat.

 • Kita di Indonesia masih sangat tergantung impor, bahkan untuk hal sepele seperti jarum suntik.

 2. Peran Ulama dalam Politik Bisa Positif

 • Jika ulama kompeten dan adil, kehadiran mereka di pemerintahan bisa mengarahkan negara ke kebijakan berbasis etika dan keadilan sosial.

 • Tentu, ini harus diawasi dan ditata agar tak jadi otoritarianisme.

 3. Ekonomi Harus Bernilai Sosial

 • Iran tidak mengejar pertumbuhan semata, tapi distribusi, solidaritas, dan resistensi.

 • Kita perlu belajar bahwa ekonomi tidak netral. Ia harus berpihak pada rakyat miskin.

Iran dan Ayatollah Khamenei bukan sekadar fenomena politik. Mereka adalah simbol dari sistem alternatif yang lahir dari rahim Islam Syiah. Wilāyat al-Faqīh bukan tanpa cacat, tapi ia membuktikan bahwa agama dan ekonomi bisa bertemu dalam satu ruang perjuangan nasional. Di tengah dunia Islam yang banyak kehilangan arah, mungkin sudah saatnya kita belajar bukan hanya dari Barat, tetapi juga dari Timur – dan salah satunya: dari Republik Islam Iran.

Catatan: Tulisan ini bertujuan akademis dan edukatif, tidak mengandung dukungan politik atau pandangan sektarian apa pun. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved