Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Dari Koin VOC hingga Lembar Uang Seri Wayang: Aryo Supeno Merawat Sejarah Yang Bisa Dibawa Pulang

Aryo Supeno mulai tertarik pada uang kuno sekitar tahun 2017 yang ternyata bisa menguntungkan.

Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: raka f pujangga
TRIBUNJATENG/REZANDA AKBAR D
KOLEKSI UANG KUNO - Aryo Supeno saat menunjukan koleksi uang kertas miliknya yang juga dijual di toko Koin Kuno miliknya jalan Kedungmundu Nomor 7 Semarang, Kamis (3/7/2025). 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANGAryo Supeno mulai tertarik pada uang kuno sekitar tahun 2017.

Saat itu, semuanya berawal dari keisengan: melihat-lihat koin lawas, mengumpulkan beberapa yang tampak unik, lalu iseng menanyakan harga di komunitas kolektor.

Tak disangka, benda-benda yang ia anggap hanya barang simpanan itu ternyata punya nilai.

Bahkan bisa dijual, dan kadang mendatangkan untung.

Baca juga: Aan Rohaeni Apresiasi Langkah Cepat Kejari Purwokerto Eksekusi Uang Pengganti Rp3,88 Miliar

Sambil duduk santai dibalik etalase toko, dihadapan Aryo bukan ponsel pintar atau mesin kasir, melainkan ratusan keping koin dan lembar-lembar uang lawas yang tertata rapi. 

Sebagian kusam, sebagian berkilau, semua membawa jejak waktu.

“Iseng-iseng dulu ngumpulin, terus laku. Lama-lama senang, jadi keterusan,” ujar Aryo, mengenang awal mula dirinya terjun ke dunia yang penuh nostalgia, di Warung Koin Kuno miliknya yang beralamat di Jalan Kedungmundu Nomor 7 Semarang, Kamis (3/7/2025).

Dari iseng menjadi kebiasaan, dari kebiasaan menjelma penghidupan.

Kini, Aryo mengelola sebuah kios kecil yang berjualan uang-uang kuno di Semarang yang nyaris tak pernah sepi dari pengunjung.

Di sana, ia menyimpan ribuan koin dan lembar uang dari berbagai zaman: koin VOC tahun 1790, lembaran Barong tahun 1975, hingga uang langka seri wayang masa pendudukan Jepang yang satu setnya pernah ia jual hingga Rp75 juta.

Kios Aryo tak sekadar tempat transaksi. Ia semacam museum mini yang terbuka untuk siapa saja yang ingin menyentuh masa lalu.

Beberapa pengunjung datang hanya untuk bertanya. Sebagian datang karena penasaran. 

Tapi tak jarang, pembeli serius dari Jakarta, Bali, hingga Jepang datang langsung ke tempat itu berbekal Google Maps dan rasa ingin tahu.

“Pernah ada orang Jepang, sudah lima kali ke sini. Setiap ke Indonesia pasti mampir. Sudah kayak langganan,” kata Aryo sambil tersenyum.

Setiap hari, Aryo membuka kiosnya mulai pukul 14.00 hingga 21.00 WIB. Ia mengatur jadwalnya agar bisa leluasa menata koleksi di siang hari, lalu melayani pengunjung hingga malam.

“Sengaja buka jam dua siang. Pagi saya pakai buat sortir barang, foto-foto koleksi baru, atau belanja dari teman komunitas. Kalau sudah jam dua, baru siap nerima tamu sampai malam,” jelasnya.

Di sela aktivitas itu, ia kerap memposting foto-foto koleksi ke media sosial atau grup jual-beli uang kuno

Banyak kolektor maupun pembeli musiman yang memesan dari sana, bahkan sebelum barang dipajang di etalase kaca kiosnya.

Namun tetap saja juga ada konsumen baru yang muncul akibat termakan hoaks koin seribu kelapa sawit, mereka datang dan menjual uang seribu koin itu dengan harga yang fantastis.

"Ya ada juga masyarakat yang datang, tiba-tiba mau jual uang koin seribu yang kelapa sawit dengan harga jutaan. Saya ya hanya mengedukasi saja kalau itu tidak benar. Ada yang terima, ada juga yang marah. Ya namanya risiko pekerjaan," ujarnya santai.

Bagi Aryo, uang kuno adalah pintu menuju banyak cerita. Ia hafal di luar kepala jenis-jenis uang yang paling dicari, seperti Rp10.000 Barong, Rp10.000 Sudirman, seri gajah, macan, hingga seri wayang yang kini makin langka.

Dia juga menyimpan koin perak bergambar monyet tergantung dan uang komodo dari tahun 1974 dan 1976, yang berat dan nilainya menyaingi logam mulia.

“Kalau yang seri wayang itu, susah banget. Saya anggap itu jackpot kalau dapat. Belum pernah pegang yang nominal 1.000 golden,” katanya.

Meski menyebut dirinya sebagai penjual, Aryo sebenarnya juga perawat jejak sejarah.

Ia tahu kapan harga sebuah uang naik atau turun, apa yang membuatnya langka, dan kenapa satu lembar bisa lebih mahal dari satu kilogram beras.

“Tahun lama belum tentu mahal. Tergantung kelangkaan. Kadang uang tahun 1975 malah lebih langka daripada yang 1900-an,” jelasnya.

Kios itu kini sudah berjalan tiga tahun. Awalnya disewa dengan sistem cicil.

Tapi berkat ketekunan dan permintaan yang terus datang, Aryo kini bisa membayar sewa penuh, bahkan memperpanjang kontrak dua tahun ke depan.

Dari sini, ia bisa meraup omzet Rp5 hingga Rp10 juta per bulan.

"Kerja saya kelihatannya santai, tapi hasilnya cukup. Kadang lebih. Bisa buat hidupin keluarga, bahkan nabung,” ujarnya.

Dari koin VOC hingga lembar Sudirman, Aryo Supeno tak hanya menjual benda mati. Ia membuka jendela kecil ke masa lalu, menjadikannya bisa disentuh, dibawa pulang, dan dijaga ulang.

Baca juga: Iwan Bos Sritex Berencana Ajukan Pembuktian, Klaim Rp2 Miliar Temuan Kejagung adalah Uang Halal

Warung kecilnya bukan sekadar tempat jual beli, melainkan ruang temu antara sejarah dan mereka yang ingin mengingatnya kembali.

Di tengah arus dunia yang semakin digital dan instan, Aryo memilih jalan yang sunyi namun bermakna: menjaga warisan dalam bentuk paling konkret mata uang.

Sebab bagi sebagian orang, sejarah bukan hanya dibaca, tapi bisa dipegang, diraba, dan dibawa pulang dalam saku. (Rad)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved