Semarang
Perjalanan Panjang Patung Sapi di Peternakan Undip, Sempat Dipajang di Tugu Muda Hingga Museum
Di tepi jalan kampus Undip Tembalang, tiga patung sapi berdiri tenang. Tampak sederhana, nyaris luput dari perhatian.
Penulis: Idayatul Rohmah | Editor: rival al manaf
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Di tepi jalan kampus Undip Tembalang, tiga patung sapi berdiri tenang. Tampak sederhana, nyaris luput dari perhatian.
Banyak yang mengira patung ini hanya sekadar hiasan kampus atau bagian dari estetika arsitektur biasa. Namun siapa sangka, ketiganya menyimpan kisah panjang yang nyaris terlupakan.
Dahulu, patung-patung ini bukan penghuni Tembalang. Mereka pernah berdiri megah di kawasan bersejarah Tugu Muda—sebuah titik pusat Semarang yang sarat makna perjuangan.
Di sanalah mereka menjadi saksi bisu geliat kota. Namun waktu bergulir dan seiring perubahan tata kota, patung-patung itu harus angkat kaki dari tempat asalnya.
Sejak saat itu, mereka menjalani perjalanan panjang. Dari museum ke kebun binatang, berpindah-pindah, sampai akhirnya mereka menemukan rumah baru di kawasan Tembalang, tepat di jantung kampus yang membidani ilmu peternakan.
Pemerhati Sejarah Kota Semarang, Johanes Christiono menjelaskan, ide awal patung-patung tersebut muncul di masa kepemimpinan Gubernur Jawa Tengah Soewardi.
Kala itu, kawasan Tugu Muda tak hanya menjadi pusat kota, tetapi juga dirancang menyerupai suasana pedesaan Jawa.
"Waktu itu mantan Gubernur ingin menghadirkan nuansa desa di jantung kota. Makanya di sekitar Tugu Muda dulu ada patung sapi lengkap dengan gerobaknya, bahkan beberapa patung binatang lainnya," terang Johanes melalui sambungan telepon, baru-baru ini.
Johanes memaparkan, ide tersebut diduga terinspirasi dari tempat tinggal Soewardi yang berada di Wisma Perdamaian—hanya sepelemparan batu dari kawasan Tugu Muda.
Keinginan membawa suasana alam dan pedesaan ke tengah kota dianggap sebagai upaya memberi sentuhan budaya lokal dalam wajah urban Semarang.
Sayangnya, gagasan Soewardi tersebut justru memicu pro dan kontra. Banyak tokoh Kota Semarang yang mengkritik konsep yang digagas Gubernur Jateng periode 1993-1998.
"Ide itu ditentang keras para budayawan. 'Karena Tugu Muda adalah kawasan monumental perjuangan, kok ya malah dikasih patung sapi dan ayam'," kata Johanes mengenang.
Johanes menyebutkan, meski patung-patung tersebut sempat menuai kritik tajam dari sejumlah tokoh budaya, termasuk Prof Slamet Rahardjo dan Darmanto Yatman, selama masa jabatan Gubernur Soewardi, patung-patung itu tetap bertahan di ruang publik.
"Pertama-tama dipindah ke halaman Museum Ranggawarsita, lalu ke kebun binatang Tinjomoyo, dan akhirnya ke Undip Tembalang," jelasnya.
Perpindahan patung yang semula di Tugu Muda ke halaman Museum Ranggawarsita, lalu ke Kebun Binatang Tinjomoyo, hingga akhirnya menetap di lingkungan Fakultas Peternakan Undip, ini pun menjadi sebuah perjalanan panjang yang mencerminkan bagaimana simbol-simbol visual bisa kehilangan konteks ketika tidak dirancang matang.
Menurut Johanes, ini yang menjadi pelajaran penting bagi tata ruang kota.
Ia pun lantas menyebutkan, kota Semarang pernah memiliki beberapa patung lain yang mengalami nasib serupa, seperti patung kudanil—yang populer dengan sebutan ‘badak angop’.
Dulu patung itu di kawasan Kalibanteng, namun kini sudah dipindah ke Taman Sompok tanpa banyak penjelasan.
"Semarang butuh identitas visual kota yang jelas dan konsisten," imbuhnya. (idy)
Koperasi Kelurahan Merah Putih Semarang Susun Anggaran Rumah Tangga, Dinkop Beri Pendampingan |
![]() |
---|
Tanggapi Gejolak Nasional, Wali Kota Semarang Ajak Warga Berdoa |
![]() |
---|
Sebanyak 266 Warga Semarang Ganti Keterangan Kolom Agama di KTP Jadi Penghayat Kepercayaan |
![]() |
---|
Realisasi Rumah Subsidi di Semarang Lambat, Pemkot Wacanakan Hunian Vertikal |
![]() |
---|
Perbarui Data, Puluhan Penyandang Disabilitas di Semarang Baru Teridentifikasi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.