Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Kolong Jembatan Kartini Semarang: Surga Tersembunyi Pecandu Layangan, Tiap Sore Langit Penuh Warna

Sejumlah anak-anak bermain layangan untuk menyalurkan hobinya di bantaran Banjir Kanal Timur, Semarang.

Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: raka f pujangga
TRIBUNJATENG.COM/REZANDA AKBAR D
MENERBANGKAN LAYANGAN - Para masyarakat dari penjuru Kota Lumpia yang berkumpul di bantaran kali banjir kanal Timur tepatnya di jembatan Kartini atau yang disebut jembatan jolotundo yang berubah menjadi arena bermain layangan. 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Tiap sore, Tirta (23) tak pernah absen.

Dari rumahnya di Karangtempel, terkadang dia menaiki sepeda atau memacu motornya untuk menuju bantaran Banjir Kanal Timur atau tepatnya di bawah jembatan Kartini untuk menyalurkan hobinya menerbangkan layangan.

"Kalau musim layangan kesini, tiap sore di sini banyak yang main layangan jadi ramai orang lebih seru," katanya sembari mengencangkan kapian (simpul tali yang mengikat layangan), Jumat (11/7/2025).

Di tangannya, selembar layangan berwarna putih dengan corak panah berjenis sukhoi siap dilepas ke udara.

Baca juga: Mobil Mitsubishi Expander Hitam Misterius, Lebih 1 Hari Kondisi Ringsek Terparkir di Semarang

Tirta bukan pemain baru. Ia mengenal layangan sejak duduk di bangku kelas satu SD. 

Tapi baru dua tahun terakhir ia menemukan kembali kegembiraan masa kecil itu, saat tahu bahwa kolong jembatan yang membentang di atas Banjir Kanal Timur itu menjelma menjadi arena terbuka bagi para pecandu langit.

“Kalau di kampung, mainnya santai, diulur. Kalau di sini beda, Ditarik. Cepat. Diadu. Sensasinya lebih berasa. Kalau kalah, ya sudah. Pasang lagi," kata Tirta.

Setiap sore, dari pukul tiga hingga menjelang magrib, kawasan ini hidup. Puluhan hingga seratusan orang anak-anak, remaja, bapak-bapak, hingga keluarga kecil datang membawa layangan dari rumah. 

Beberapa sekadar menonton, lainnya duduk-duduk di pinggiran kali, memotret suasana, atau membantu anak-anak mereka menarik benang pelan-pelan untuk mengajarkan menerbangkan layangan.

Tapi tak sedikit pula anak-anak yang membawa tongkat bambu untuk berebut layangan jika ada layangan yang jatuh usai diadu.

Tapi bagi Tirta, ini lebih dari sekadar permainan. Ini ritual. Penawar jenuh. Tempat untuk menjadi dirinya sendiri.

20250711_menerbangkan layangan di Semarang_2
MENERBANGKAN LAYANGAN - Para masyarakat dari penjuru Kota Lumpia yang berkumpul di bantaran kali banjir kanal Timur tepatnya di jembatan Kartini atau yang disebut jembatan jolotundo yang berubah menjadi arena bermain layangan.

Bantaran Sungai Yang Jadi Arena Layangan

Dulu, area ini tak lebih dari sekadar tanah kosong.

Tapi entah sejak kapan, mulai ramai.

Sore demi sore, benang-benang mulai beterbangan. 

Anak-anak berdatangan. Komunitas kecil tumbuh. Lalu berkembang jadi kebiasaan.

“Ramainya baru dua tahun terakhir. Tapi sejak itu kayak enggak bisa berhenti. Apalagi kalau tanggal merah. Bisa penuh. Ratusan layangan di atas kepala,” kata Tirta.

Suara yang terdengar di sini khas: desir angin, gesekan benang, teriakan anak-anak mengejar layangan putus, dan kadang seruan spontan.

“Kena! Putus!” dari pemain yang berhasil mengadu dengan lawannya. 

Di sela-selanya, obrolan santai berseliweran antar pemain tentang teknik main, jenis benang gelasan (benang tajam), hingga harga layangan terbaru.

Bermain layangan ternyata bukan hobi yang murah.

Tirta mengaku bisa menghabiskan Rp20.000–Rp25.000 dalam sehari untuk beli layangan baru.

Belum termasuk benang.

“Senar kuning ini bisa sampai tiga ratus ribu, Mahal, tapi tajam. Kalau pakai terlalu banyak bisa luka nih, tangan,” katanya sembari menunjukkan telapak yang penuh gurat merah bekas gesekan benang. 

“Tapi sudah biasa. Luka kecil, asal layangan naik.” sambungnya.

Dalam sehari, Tirta bisa menerbangkan lima hingga enam layangan. Kadang semua putus.

Kadang hanya satu yang selamat hingga akhir. Tapi hasil bukan hal utama. 

Yang penting, katanya, adalah momen di mana dia bisa fokus.

Melepas benang.

Membaca arah angin.

Mengatur tarikan.

Lalu melihat layangan menari tinggi di langit.

“Rasanya plong. Kayak semua beban ikut terbang juga,” ujarnya pelan.

Tempat Bernostalgia, Ruang Bersosial

Bermain layangan bukan hanya milik anak-anak.

Banyak pemain datang membawa serta kenangan masa kecil. 

Ada yang ingin mengenang suasana kampung.

 Ada yang mencari teman baru. Ada pula yang sekadar menikmati waktu bersama keluarga.

“Main layangan tuh kayak nostalgia. Tapi sekarang jadi ajang kumpul juga. Bisa ngobrol, kenalan. Ramai orang di sini Ada yang dari Tambak Dalam, dari Tandang, dari mana-mana kumpul di sini,” kata Ahmad.

Bagi sebagian keluarga, datang ke tempat ini adalah momen berkualitas. Anak-anak belajar mengenal angin dan sabar.

Orang tua ikut tertawa saat layangan mereka jatuh dan dikejar ramai-ramai.

Dan bagi banyak orang, terutama mereka yang bekerja dan dikejar rutinitas harian, bermain layangan jadi bentuk jeda. 

Menjelang pukul empat sore, langit di atas Jembatan Kartini berubah menjadi panggung terbuka. 

Baca juga: Kisah Ardianto Datang Saat Bocil, Kini Kembali Sebagai Ayah Beli Layangan di Toko Maganol Semarang

Layangan berwarna-warni saling melintas. Beberapa tampak tinggi dan stabil, lainnya oleng dan tersangkut pepohonan.

Anak-anak berteriak, orang dewasa tertawa, dan angin sore terus bertiup membawa cerita.

Di bawah jembatan, di tepian kanal yang biasanya dilupakan, sekelompok manusia menemukan cara untuk bahagia. 

Bukan dengan teknologi, bukan dengan hiburan mahal.

Cukup dengan selembar kertas, seutas benang, dan angin sore yang setia berhembus. (Rad)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved