Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Banyumas

Eksploitasi Anak di Banyumas, Polisi: Realita Kemiskinan, Tak Cukup Hanya Hukuman

Fenomena anak-anak yang berjualan di jalanan atau tempat makan menjadi sorotan publik. 

Tribunjateng.com/Permata Putra Sejati
EKSPLOITASI ANAK - Seorang anak yang berjalan dengan menggendong kresek ungu masuk ke dalam pertunjukannys komplek GOR Satria Purwokerto, Sabtu (26/7/2025). Anak kecil itu, menyusuri jalan sambil menggendong kantong plastik besar berisi kerupuk. 

TRIBUNJATENG.COM, PURWOKERTO - Fenomena anak-anak yang berjualan di jalanan atau tempat makan menjadi sorotan publik. 

Aparat penegak hukum pun tak tinggal diam, namun dalam praktiknya, mereka mengaku dihadapkan pada dilema antara menegakkan hukum dan mempertimbangkan sisi kemanusiaan.

Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Banyumas, Ipda Sigit Harmoko, menjelaskan secara hukum, praktik menyuruh anak-anak untuk bekerja apalagi demi ekonomi keluarga telah masuk dalam kategori eksploitasi anak.

Baca juga: 4 Bocah Tiap Hari Cuma Diberi Singkong, Kaki Dirantai, Dugaan Eksploitasi Anak di Boyolali Terungkap

Hal ini tertuang jelas dalam Pasal 76I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002), yang menyebutkan:

'Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap Anak'. 

Lebih lanjut, Pasal 88 dalam undang-undang yang sama menetapkan sanksi tegas:

'Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200 juta'  

Namun, meski aturan hukum jelas, penindakan di lapangan tidak semudah hitam di atas putih. 

Menurut Ipda Sigit, pihaknya sering kali dihadapkan pada kondisi keluarga yang sangat memprihatinkan.

"Kalau menyuruh karena kebutuhan ekonomi, itu jadi kendala. 

Kami takutnya bukannya menyelesaikan masalah, malah menambah masalah. Misalkan ibunya single fighter, gak ada bapaknya. 

Kalau kami tindak ibunya, kasihan, sedangkan dia sendirian," ujarnya kepada Tribunjateng.com, Senin (28/7/2025).

Kondisi ini membuat pihak kepolisian lebih mengedepankan pendekatan sosial ketimbang langsung menerapkan sanksi pidana.

"Bukankah lebih baik diselesaikan di Dinas Sosial? Kecuali kalau sudah diperingati tapi tetap saja dilakukan, maka harus ada pendekatan hukum," lanjutnya.

Ipda Sigit menegaskan, sebenarnya pihaknya tidak menutup mata atas dugaan eksploitasi tersebut. 

Namun realita di lapangan membuat penegakan hukum menjadi kompleks. 

Apalagi kebanyakan kasus terjadi secara terang-terangan di tempat umum seperti rumah makan dan area keramaian lainnya.

"Realitanya itu, di lapangan, anak-anak jualan di tempat makan. 

Miris memang," imbuhnya.

Oleh sebab itu, menurutnya, solusi yang lebih manusiawi adalah mendorong peran aktif Dinas Sosial dan UPTD Perlindungan Anak.

Baca juga: Apa Itu Child Grooming? Eksploitasi Anak di Bawah Umur, Ini Bedanya dengan Pacaran Beda Usia

Terutama agar anak-anak tersebut mendapatkan perlindungan yang layak dan tidak menjadi korban eksploitasi ekonomi oleh orang terdekatnya sendiri.

Situasi ini menjadi pengingat bahwa perlindungan anak tidak cukup hanya dengan pendekatan hukum. 

Penanganan yang menyentuh akar persoalan sosial, termasuk kemiskinan dan beban keluarga tunggal, mutlak diperlukan agar anak-anak benar-benar bisa tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan kondusif. (jti)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved