Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Demo Pati 13 Agustus

Apa yang Akan Terjadi Jika Sudewo Bupati Pati Lengser?

Masyarakat yang tergabung dalam “Aliansi Pati Bersatu” menggelar aksi protes yang dipusatkan di depan Kantor Bupati Pati, Rabu (13/8/2025).

|
Penulis: Andra Prabasari | Editor: galih permadi
TribunJateng.com/Mazka Hauzan Naufal 
TAK TAKUT DIDEMO - Bupati Pati Sudewo saat diwawancarai awak media di Gedung DPRD Pati, Selasa (15/7/2025). Dia mengomentari wacana unjuk rasa penolakan kebijakan penyesuaian tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang marak di media sosial dan disebut bakal dilakukan ribuan orang pada 13 Agustus 2025. 

Ini akan mempengaruhi peta politik lokal menjelang pemilu atau pilkada selanjutnya.

Figur-figur baru akan mulai bermunculan sebagai calon pemimpin Pati berikutnya.

Menurut Pakar Hukum UNS

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Prof Sunny Ummul Firdaus mengatakan, demo di Pati menjadi pelajaran penting bahwa kebijakan publik tidak hanya diukur dari legalitas kewenangan, tetapi juga dari legitimasi di mata rakyat. 

Kenaikan PBB hingga 250 persen yang diputuskan Sudewo secara hukum mungkin sah berdasarkan kewenangan yang diatur dalam Pasal 65 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). 

Aturan tersebut menyebutkan bahwa kepala daerah memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD. 

Namun, respons publik yang masif menunjukkan bahwa legitimasi politik dan sosial adalah dimensi yang sama pentingnya dalam menjalankan kekuasaan. 

“Kewenangan yang dijamin konstitusi. Dalam hukum tata negara, bupati adalah kepala daerah kabupaten sekaligus wakil pemerintah pusat di daerah. Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 menyatakan: 'Gubernur, Bupati, dan Wali Kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis',” ujar Sunny mengutip Kompas.com, Rabu (13/8/2025). 

Sunny menerangkan bahwa secara normatif kebijakan Sudewo berada dalam lingkup tugas pokok sebagai kepala daerah untuk mengelola penerimaan daerah dan membiayai pembangunan. 

Meski begitu, persoalannya tidak berhenti pada apakah ia berwenang, tetapi juga bagaimana dirinya menggunakan kewenangan itu. 

Kebijakan publik yang menyentuh langsung kehidupan rakyat, apalagi menyangkut pajak, memerlukan proses deliberatif dan komunikasi publik yang transparan. 

Pasal 354 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 menegaskan bahwa kepala daerah wajib memberikan informasi penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat. 

Prinsip ini sejalan dengan asas partisipasi masyarakat yang diatur dalam Pasal 354 ayat (3), yang menyebutkan bahwa penyampaian informasi bertujuan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan daerah. 

Ketiadaan konsultasi publik yang memadai berpotensi melemahkan legitimasi, bahkan ketika kewenangan formalnya tidak dipersoalkan. 

Dalam kasus Pati, kekecewaan publik memuncak bukan hanya karena besaran kenaikan PBB, tetapi karena warga merasa kebijakan itu muncul sepihak dan tanpa mempertimbangkan daya bayar masyarakat. 

Terkait pelengseran Sudewo, Sunny mengatakan bahwa secara hukum tata negara penolakan masyarakat tidak secara otomatis menjadi dasar pencopotan kepala daerah, baik oleh DPRD maupun Kementerian Dalam Negeri. 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved