Setelah dipotong, ikan lalu ditusuk menggunakan tusuk sate berbahan bambu, untuk kemudian dilakukan pengasapan.
Dalam proses pengasapan, arang yang digunakan memanfaatkan limbah jagung. Selain murah dan bahan baku tersedia, limbah jagung juga mempunyai pembakaran yang tidak terlalu panas.
Para pekerja, termasuk Jasri sigap membalik-balikkan ikan asap agar tidak gosong. Ikan yang sudah matang kemudian ditaruh di luar untuk dijual ke masyarakat.
"Proses dari awal sampai akhir kurang lebih 5 jam. Bakarnya ini pakai sampah jagung. Kalau pakai arang mahal," tambahnya.
Ikan yang sudah diasapi kemudian dikirim ke pedagang ikan di luar kota. Pelopor pengasapan ikan di sentra ikan Wonosari, Juyamin, menjelaskan bahwa pengasapan ikan di Demak berbeda dengan pengasapan di tempat lain.
Di Demak, pengasapan dilakukan secara terstruktur di tengah pasar yang disulap menjadi pabrik.
Hasil pengasapan pun punya rasa tersendiri lantaran tanpa ada bahan pengawet. Rasa ikan asap dari Demak cenderung terasa manis.
"Ikan asap di sini beda dengan daerah lain. Di sini rasanya manis. Kami bersama-sama bakar ini sampai 10 ton tiap hari," katanya.
Pasar ikan asap juga tidak pernah surut. Menurut dia, ikan asap laris karena banyak disukai warga. "Kami kirimnya rata-rata ke Semarang, Purwodadi dan sekitarnya.
Belum ekspor karena kalau ekspor butuh izin segala macam," tambahnya.
Sentra ikan asap di Demak itu direncanakan untuk membentuk tempat penyimpanan berupa ruang cold storage. Itu agar ikan asap bisa tahan lebih lama di pasaran tanpa bahan pengawet.
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Demak Zuarin menambahkan, pasar sentra asap berdiri sejak 2011.
Sebelum dikumpulkan di dalam satu lokasi, sentra asap tersebar di rumah-rumah warga. Lantaran asap yang dinilai mengganggu, pemerintah kemudian membangun satu komplek pasar pengasapan ikan.
"Ditata sejak 2011, dulunya dari rumah ke rumah," katanya. (*)