"Saya minta mereka mencari pekerjaan yang lain, sampai kondisinya sudah pulih kembali," ujar dia.
Namun ketika tidak ada Covid-19, diakuinya penjualan mainan tradisional itu trennya selalu naik.
Tidak seperti yang dibayangkan selama ini jika mainan tersebut akan kalah bersaing terhadap permainan modern.
"Setiap tahun penjualannya selalu naik. Biarpun cuma sedikit. Paling lima persen kenaikannya, tetapi hasilnya lumayan," ujar dia.
Dia mengatakan, sudah menjual mainan tersebut sampai ke sejumlah kabupaten kota dari Batam sampai ke Timika.
"Hampir semua pulau yang ada di Indonesia sudah pernah kami kirim barang dari sini," jelas dia.
Harga jual yang murah membuat sejumlah distributor di beberapa daerah itu bersedia membeli barang dari sana.
Mainan tradisional itu dibanderol mulai dari Rp 1.100 per buah tergantung dari ukuran dan bentuk mainannya.
"Kalau jual lagi, keuntungannya mereka bisa dua sampai tiga kali lipatnya. Ada yang Rp 1.000 dijualnya Rp 3.000, yang kitiran Rp 3.500 itu biasa dijualnya Rp 7.000," ucapnya.
Kebanyakan bahan bakunya, kata dia, merupakan limbah pabrik yang tidak terpakai. Selain itu, bahan tersebut kebanyakan berasal dari luar Kabupaten Jepara.
Misalnya karet untuk mengikat dari Medan, kertas bungkus rokok dari Kudus, lempengan seng dan spon yang berasal dari Tangerang.
"Kami memanfaatkan limbah pabrik ini menjadi mainan yang menarik untuk anak-anak," jelas dia.
Sumarno menjadi sosok yang tak pernah letih untuk menyenangkan hati anak-anak lewat mainan tradisional dari masa ke masa.
"Dari tahun 1982 saya membuat mainan anak. Dan sebagai seorang muslim saya tak pernah khawatir," ujar dia. (raf)