TRIBUNJATENG, SEMARANG - Pekan lalu Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, menyinggung proses pendidikan di tengah pandemi lewat siaran tertulisnya.
Ia menilai pendidikan jarak jauh (PJJ) yang diterapkan selama pandemi masih belum optimal.
Berdasar pada penilaian tersebut, Menko PMK meminta Kemendikbud membuat sebuah terobosan.
• Biadab, Rombongan Klitih di Jombor Yogyakarta Buru Korbannya Sabetkan Sajam Berulang-ulang
• Innalillahi Wa Innailaihi Rojiun, Bayi Karanganyar Tewas Tercebur Sumur Saat Dimandikan Orangtuanya
• Innalillahi Wa Innailaihi Rojiun, Tasya dan Pacar Tewas Kecelakaan Ditabrak Mobil Pajero, Ayah Lemas
• Detik-detik Ustaz Insan Mokoginta Wafat saat Sholat Terekam Kamera, Banjir Doa Netizen, Ini Sosoknya
Selain itu, Muhadjir menyebutkan adanya pandemi Covid-19 semakin memperlihatkan kelemahan sustem pendidikan di Indonesia.
Menko PMK menyinggung fasilitas untuk mengikuti pelaksanaan PJJ tidak merata masih dialami beberapa daerah.
Sejumlah guru di beberapa daerah pun mengakui adanya kendala dan kelemahan yang hingga kini belum menemui titik terang dalam pelaksaan PJJ.
"Kendalanya masih sama yaitu fasilitas, apalagi di daerah pelosok," jelas Atik Dyat Prastuti satu di antara pengajar yang berstatus honorer di SDN 02 Cawet Pemalang kepada Tribunjateng.com lewat sambungan telpon, Jumat (21/8/2020).
Solusi dari Pemerintah mengenai bantuan kuota, dikatakan Atik juga belum dirasa oleh para pengajar.
"Hingga saat ini belum ada bantuan kuota, namun dari sekolah sudah mewacanakan hal itu lewat dana bos," paparnya.
Ia menjelaskan gaji yang ia terima setiap bulan hanya Rp 400 ribu, sementara untuk mencukupi kebutuhan kuota internet dalam pelaksaan PJJ ia harus mengeluarkan Rp 100 ribu setiap bulannya.
"Mau tak mau harus mengeluarkan biaya tambahan, karena kami berkewajiban memberikan ilmu ke pelajar," jelasnya.
Diterangkan Atik, selain fasilitas, pendidikan karakter juga tidak bisa dimaksimalkan dalam pelaksanaan PJJ.
"Karena hanya lewat daring jadi belum bisa menyentuh karakter siswa, menurut saya dua hal itu membuat PJJ tidak maksimal," ujarnya.
Terpisah Anisa Riski Ratnasari, pengajar di SMK LPI Semarang, menuturkan, kendala tersebut dirasakan hampir semua sekolah tak terkecuali di tempat ia mengajar.
"Namun bedanya tempat kami SMK dan ada materi praktik, mau tak mau kami harus menggelar tatap muka untuk materi praktik meski dengan sistem bergantian, dan hanya lima siswa yang diperbolehkan mengikuti praktik setiap harinya," ucapnya.
Senada dengan Atik, Anisa menambahkan kendala infrastruktur dan penanaman karakter dialami dalam pelaksaan PJJ.
"Meski sekolah kami ada di kota namun masih ada siswa yang tidak memiliki gadget, serta kuota internet.
Untuk mengatasi hal itu, kami mengizinkan siswa datang ke sekolah untuk menggunakan fasilitas sekolah guna mengikuti PJJ," tambahnya. (bud)
• Ingin Wisata ke Wonosobo? Wisatawan Diwajibkan Rapid Test oleh Pemkab
• Masih Ada 112 Hektar Wilayah Kumuh di Kota Semarang, Disperkim Terkendala Anggaran
• Lawan Anak Jokowi di Pilkada Solo Ini Sesumbar Raih Suara 81 Persen
• Pajak Rumah Kos di Kota Semarang Baru Capai Rp 100 juta