Human Interest

Kisah Nenek Ngesot Perawat Puluhan Kucing Liar Kota Semarang: Cuma Mereka Teman Saya Sampai Mati

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Mbah rumahnya di mana?

Tanya Tribunjateng.com, kepada Mbah Sriah (75) saat sedang sibuk memberi makan kucing di Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) Petudungan di Purwodinatan, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang.

Selesai memberi makan kucing, nenek renta ini ngesot menuju gubuk kecilnya.

Ini Peran 5 Oknum TNI AL Tersangka Ciracas, 2 dari TNI AU Bebas, KSAD Ganti Rugi Rp 594 Juta

Ternyata Ini Alasan Dohan Hajar Mbah Hasyim hingga Berlumurah Darah di Jalan Pemuda Semarang

Daeng Koro, Pecatan Kopassus Keluar Penjara Gabung Kelompok Teroris Jadi Panglima Laskar Jihad

Muncul Isu Jual Beli Jabatan Perangkat Desa, Polres Semarang Tunggu Laporan Resmi

Seorang tetangga membantu menyeberang jalan yang sore ini tampak ramai dilalui pengguna jalan.

Gubuk Mbah Sriah berupa rumah terpal berukuran 1 meter x 2 meter dengan tinggi sekira 2,5 meter.

Posisi rumah terpal hampir mirip dengan tenda dengan posisi menempel di pagar toko yang sudah tak terpakai.

Tempat tinggal berupa rumah terpal yang berada di depan emperan toko kosong.

"Ini rumah saya," jawab Mbah Sriah, Selasa (8/9/2020) sore.

Di rumah terpal itu, Mbah Sriah menghabiskan waktu sehari-hari.

Ia bekerja sebagai pemulung dengan memunggut sampah di TPS Petudungan di seberang tempat tinggalnya.

TPS juga berada di bantaran sungai Semarang.

"Saya sebatang kara sudah hampir 30 tahun di sini," terangnya.

Kolase foto Mbah Sriah (75) nenek sebatangkara yang tinggal di gubuk dekat TPS Petudungan. Meski dalam keterbatasan nenek ini gemar berbagi dengan kucing jalanan, Selasa (8/9/2020) sore. (Tribun Jateng/ Iwan Arifianto)

Meski demikian, Mbah Sriah tidak merasa sendirian.

Pasalnya ia memikiki empat kucing peliharaan masing-masing bernama Apuk, Manis, Sireng dan Penceng.

Diakui Mbah Sriah, keempat ekor kucing itu yang menjadi temannya dalam menghabiskan waktu baik beristirahat dan bekerja.

"Kalau soal makan, tidak hanya empat ekor kucing ini namun semua kucing di sekitar sini kalau ada makan saya kasih semua," terangnya.

Di segala keterbatasan, Mbah Sriah paling tidak menghabiskan uang sebesar Rp 40 ribu per hari untuk biaya makan dirinya dan para kucing.

Ia makan dua kali sehari masing-masing pagi dan malam.

Padahal pendapatannya sebagai pemulung tidak menentu, rata-rata dari mengumpulkan uang sehari mendapat uang Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu.

"Memang pas-pasan, kadang juga kurang namun bismillah berbagi seadanya," ujarnya.

Mbah Sriah di rumah terpalnya merasa nyaman.

Bahkan dia mengaku tidak ingin pindah dari tempat tinggalnya yang sekarang.

Lantaran ia merasa betah dan dekat dengan sumber penghasilannya sebagai pemulung.

"Di gubuk rasanya hangat kalau malam, tidak kehujanan, nyamuk ada tetapi sedikit," paparnya.

Ketika mengobrol dengan Tribunjateng.com, mata Mbah Sriah berkaca-kaca saat menceritakan masa lalunya.

Ia sempat membina rumah tangga saat tinggal di Boja Kendal.

Namun suami dan anaknya meninggal.

Mbah Sriah pernah memiliki empat orang anak tetapi meninggal satu persatu yang disebabkan karena sakit berupa sakit panas, sakit mata, dan kecelakaan.

"Selepas itu saya datang ke sini, pingin di sini nanti sampai mati," jelasnya.

Warga Slamet (60) menuturkan, Mbah Sriah sudah tidak bisa berjalan sekira tiga tahun lalu.

Pasalnya Mbah Sriah pernah terjatuh sehingga kakinya sakit-sakitan.

"Ya dulu tidak separah itu, sekarang susah untuk berjalan," bebernya.

Dijelaskan Slamet, sosok Mbah Sriah dikenal periang dan suka membantu.

"Saya kenal dia sudah lama, sejak masih memulung di sekitar Jamu Jago sampai pindah di sini," katanya.

(Iwn)

Video Destinasi Pantai Sendang Asih Kendal yang Asri Dihiasi Cemara

Daftar Ponsel Spesifikasi Mumpuni Harga HP di Atas Rp 5 Juta Bulan September 2020

Video PKL Area Alun-alun Kota Tegal Mulai Berdagang di Lahan Relokasi

Nasib Bocah Perempuan Hidup Bareng Keluarga Predator Seks Anak Pekalongan, Dicabuli Ayah dan Kakak

Berita Terkini