Dia mengatakan tentara diberi perintah untuk menembak pengunjuk rasa.
Polisi ditugaskan untuk memberikan keamanan ekstra.
“Padahal kami polisi, tapi kami tetap warga negara seperti rakyat. Saya tidak mau mendengarkan perintah seperti itu, dan saya tidak berani menembak,” ujarnya.
Chewa mengatakan dia tidak menyaksikan petugas polisi menembak warga sipil.
Tetapi dia mengaku melihat para pemimpin protes di sebuah kota kecil di dataran tinggi terpencil negara bagian Chin ditangkap.
Chewa bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil, yang melibatkan puluhan ribu pegawai pemerintah di seluruh Myanmar.
"Saya ingin demokrasi kembali," katanya, suaranya tercekat karena emosi.
"Saya ingin komunitas internasional membantu negara kami ... Saya adalah salah satu (perwira) tingkat rendah jadi saya tidak memiliki kekuatan untuk berbuat banyak jadi saya bergabung dengan (gerakan) - itu yang setidaknya bisa saya lakukan."
Dia mengaku mengkhawatirkan kesejahteraan keluarganya, karena dia adalah satu-satunya pencari nafkah.
Kyaw, Chewa dan petugas polisi lainnya menunjukkan kepada AFP kartu identitas militer atau polisi mereka untuk membuktikan identitas mereka.
AFP tidak dapat memverifikasi klaim spesifik mereka secara independen.
Saat kelompok itu duduk dalam keheningan, sinar matahari mengalir melalui jendela yang terbuka, mereka mengangkat tangan kanan mereka untuk memberi hormat dengan tiga jari, gerakan yang diilhami oleh film "Hunger Games" dan digunakan oleh pengunjuk rasa.
"Saya belum mau pulang dulu ke Myanmar," kata Kyaw, masih gemetar.
"Saya seorang tentara, jadi saya tidak aman di sana jika saya kembali."(*)
Berita terkait Myanmar
Berita terkait militer Myanmar
Berita terkait kudeta militer
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Militer Myanmar: Diperintah Terang-terangan Tembak Warga Sipil, Bahkan Bunuh Orangtua Sendiri