Oleh Nabilla Maulida Fitria
Mahasiswa Sastra Indonesia Unnes
BEBERAPA minggu terakhir makin banyak kasus atau kejadian kekerasan seksual, yang diberitakan oleh media cetak maupun online dan televisi. Yang terbaru, terjadi pada seorang gadis di Maluku. Diduga gadis tersebut diperkosa oleh seorang oknum polisi di Jailolo Selatan, Halmahaera Barat, Maluku Utara. Sampai saat ini kasus masih terus diusut.
Kekerasan seksual sebenarnya bukan masalah baru lagi di Indonesia. Komnas Perempuan mencatat terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2020, yang ditangani oleh Pengadilan Negeri/Agama, Lembaga Layanan Mitra Komnas Perempuan, serta Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan.
Kita masih ingat video yang beredar saat seorang pria dengan sengaja melecehkan beberapa jemaah perempuan yang sedang beribadah di mushala. Lalu kasus pencabulan anak di bawah umur di lingkungan gereja di kawasan Pancoranmas, Depok, Jawa Barat. Alasan berpakaian “seksi” tidak lagi bisa diterima. Apalagi jika kita melihat, banyak korban yang masih di bawah umur.
Masa Sulit Korban
Trauma yang dialami korban terjadi dalam jangka waktu panjang. Pelecehan secara verbal saja dapat membuat depresi selama berhari-hari apalagi pelecehan yang terjadi secara fisik. Kondisi psikologis korban akan sangat terguncang, dan akan lebih parah saat terjadi pada anak-anak.
Trauma pada anak-anak akan sulit dihilangkan sepenuhnya. Trauma ini juga mengikis rasa percaya diri korban. Bahkan sejumlah korban ada yang takut kepada orangtuanya sendiri, lebih memilih menyendiri. Dampak terburuk, korban melakukan percobaan bunuh diri.
Selain itu secara fisik, korban juga rentan mengalami penyakit seksual menular, termasuk HIV AIDS. Penelitian menyebutkan bahwa perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual beresiko lebih tinggi mengalami infeksi dan penyakit seksual.
Sikap lingkungan sosial dalam menerima dan memperlakukan korban juga berpengaruh terhadap psikis korban. Padahal korban dalam posisi dirugikan, tentu bukan hal tabu. Justru harus diberi dukungan.
Masa sulit juga dialami oleh keluarga korban. Banyak orang tua yang masih bingung bagaimana menghadapi anaknya yang mengalami tindakan pelecehan. Padahal jika tidak ditangani segera, akan memperburuk kondisi mental bahkan fisik si anak.
Penampilan seksi si korban sering dijadikan alasan pembenaran oleh pelaku kejahatan. Perdebatan mengenai mana yang lebih salah antara perempuan yang berpakaian seksi atau laki-laki yang tidak bisa menahan nafusnya sering dibicarakan.
Darurat Pengesahan RUU PKS
Tagar #IndonesiaDaruratPelecehanSeksual, #DaruratKekerasanSeksual #SahkanRUUPKS dan sejenisnya terus menggema di media sosial. Pengesahan Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menjadi salah satu langkah untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual. Desakan dari berbagai pihak juga terus berdatangan, menilai semakin banyak dan mengerikannya kasus yang terjadi.
RUU PKS telah digagas Komnas Perempuan sejak tahun 2012. Draf RUU telah masuk ke DPR pada tahun 2016. Namun pembahasannya melambat di tahun 2017.
Dan di tahun 2020 terpental dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Alasan kerumitan pembahasan, hingga menunggu pengesahan UU lain yang lebih mendesak kerap kali disampaikan. Padahal kasus kekerasan seksual di Indonesia semakin memprihatinkan.
Di KUHP ada pasal yang mencakup kekerasan seksual, namun hanya dua jenis yaitu perkosaan dan pencabulan. Itupun belum menjamin sepenuhnya hak dan perlindungan korban. Hukuman yang dianggap masih ringan juga menjadi alasan daruratnya UU ini untuk segera disahkan.
Itulah mengapa banyak pihak yang mendesak pengesahan RUU PKS di tahun 2021. Di RUU PKS lebih rinci diuraikan tindakan apa saja yang termasuk kekerasan seksual. Selain itu, hukuman pidana yang lebih luas dan berat serta aspek perlindungan untuk korban juga lebih detail dijabarkan.
Meningkatkan Kewaspadaan
Melihat pelaku yang semakin tidak pandang tempat dan usia saat melakukan aksinya membuat kita perlu membentengi diri. Para pelaku sering kali menganggap anak-anak dan wanita sebagai objek yang mudah dan lemah.
Beberapa hal dapat kita lakukan untuk menghindari dan menghadapi tindakan kekerasan seksual. Di antaranya, untuk selalu waspada terutama saat sendirian di tempat sepi. Jika merasa diikuti orang mencurigakan, maka segera menghubungi orang terdekat atau pihak berwenang lalu segera mencari tempat ramai untuk berlindung.
Langkah sederhana lain adalah bersikap tegas. Jika merasa diperlakukan tidak nyaman, jangan segan untuk memberi teguran. Sebab banyak pelaku yang semakin menganggap remeh saat kita hanya diam saja. Jika tidak mempan, langsung saja beri peringatan atau ancaman.
Kita juga perlu membawa alat perlindungan diri, seperti semprotan merica. Akan lebih baik jika kita membekali diri dengan ilmu bela diri sederhana. Di aplikasi media sosial seperti Youtube, banyak orang yang sudah mengunggah langkah-langkah bela diri sederhana untuk perempuan. Jangan takut untuk melaporkan.
Jika tidak berani langsung, maka kita bisa bercerita pada orang terdekat atau lembaga swadaya yang berkaitan dengan masalah ini. Juga jangan sungkan untuk mencari tahu informasi dari internet mengenai kekerasan seksual. (*)
Baca juga: Hotline Semarang : Kenapa Muncul Air di Jalan bawah Flyover Jatingaleh?
Baca juga: FOkus : Kritik Sopan Santun
Baca juga: Video Adi CS Jambret Ponsel Pemilik Angkringan dengan Modus Beli Es Teh
Baca juga: Ingin Mencicipi Makanan Khas Sragen? Cukup Datang di Satu Tempat Ini