Oleh: Muhammad Itsbatun Najih
Alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
MELALUI survei bertajuk ”The Global God Devide”, Pew Reserch Center (2020) merilis hasilnya yang boleh dibilang tidak mengejutkan. Yakni, menempatkan Indonesia sebagai negara paling religius; mengalahkan negara-negara Timur Tengah.
Dalam survei tersebut, 96% responden di Indonesia menganggap seseorang mesti beriman untuk dapat bermoral. 98% menyatakan agama –sebagai identitas-- dianggap penting. 98% juga menganggap agama punya peran amat penting di kehidupan keseharian.
Ada sejumlah variabel untuk menyatakan Indonesia memang senyatanya teranggap paling religius. Elemen Ketuhanan tertulis jelas di sila pertama Pancasila dan pada Pembukaan UUD 1945. Walau demikian, Indonesia bukan negara agama. Namun juga, bukan negara sekuler.
Agama ditempatkan sebagai nilai etis sikap berbangsa-bernegara. Hal ini mengingat terdapat beberapa agama “resmi” dan aneka aliran kepercayaan sejak Indonesia belum lahir. Maka, jalan tengah “menyatukan” dengan mengambil intisarinya: ketuhanan.
Variabel lainnya bisa dilihat dari jumlah jemaah haji. Indonesia yang nun jauh dari Saudi, selalu mendominasi.
Ratusan ribu jemaah haji tiap tahunnya dan ribuan jemaah umrah tiap bulannya. Padahal, tidak sedikit ongkos yang dikeluarkan untuk beribadah ke Tanah Suci. Tidak sedikit jemaah harus berjuang keras dengan menabung bertahun-tahun. Semangat keberagamaan juga dapat dijumpai saat Idul Adha.
Institute for Demografic and Poverty Studies (IDEAS) melansir potensi ekonomi kurban Indonesia tahun 2020 mencapai Rp 20,5 triliun yang berasal dari 2,3 juta pekurban; tahun di tengah pagebluk dan lesu ekonomi. Indonesia menampakkan toleransi begitu mengagumkan.
Semua hari raya keagamaan ditetapkan hari libur nasional. Aliran kepercayaan juga telah mendapat legitimasi negara. Dalam kegiatan filantropi dan kerja-kerja sosial, masyarakat Indonesia teranggap suka berbagi. Bertumbuh banyak lembaga kemanusiaan-filantropi.
Paling dermawan
Pada 2018, oleh lembaga Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index, Indonesia mendapat skor tertinggi sehingga meraih posisi pertama sebagai negara “paling dermawan”. Kedermawanan masyarakat Indonesia memang tak perlu diragukan. Kita bisa saksikan langsung saat terjadi bencana alam.
Lebih-lebih saat pagebluk Covid-19, ketika semua orang terkena dampak, solidaritas antarsesama terus terjaga. Berkaca dari sini, ada sebentuk praktik kesalehan sosial yang sudah terpatri. Membincang kesalehan sosial selain berderma, juga kemasyhuran perangai. Terlepas masih sesuai atau tidak di realitanya hari ini, oleh orang luar negeri, masyarakat Indonesia selalu dikenal dengan keramahan, keguyuban, kegotongroyongan.
Kesalehan sosial sering disimpulkan termin akhir dari praktik keberagamaan; setelah tuntasnya menunaikan kesalehan ritual. Sementara paparan di atas menunjukkan seakan-akan masyarakat Indonesia telah memenuhi keduanya.
Ketika agama jadi identitas penting, ketika aneka ritus ibadah berlangsung semarak dan terus menunjukkan progres kuantitasnya. Masjid-masjid kian diperluas dan diperindah; kaum selebritas, pesohor, figur publik berduyun-duyun mengikrarkan diri dalam tema “berhijrah”, seturut pula besarnya ceruk bisnis busana muslim; dan antusias berumrah yang kini kudu antre hingga bilangan tahun.
Namun, semarak keagamaan pada hari ini menampilkan semacam paradoks. Begitu megah-luasnya rumah ibadah, apakah berbanding lurus dengan aktivitas jemaahnya? Banyak ceramah keagamaan di media sosial atau kanal-kanal Internet rupanya menghasilkan sengkarut macam membid'ah-sesatkan mereka yang tidak sepaham.