Dalam sebuah unggahan di Instagram-nya Senin (16/8/2021), Mariam Ghani mengatakan dia “marah dan berduka dan sangat takut dengan kondisi keluarga, teman dan kolega yang ditinggalkan di Afghanistan.”
Menurutnya, dia pun “bergegas bekerja untuk melakukan apa pun yang saya bisa atas nama mereka (Afghanistan).”
Tidak jelas apakah Ghani, yang lahir di Brooklyn dan dibesarkan di pinggiran kota Maryland, telah mendengar kabar dari ayahnya atau bahkan tahu di mana ayahnya berada.
Ayahnya bekerja di pemerintah Afghanistan mulai 2002, sebelum dia terpilih sebagai presiden pertama kali pada tahun 2014, dan kemudian lagi pada tahun 2019.
Sementara Mariam Ghani mengejar karier seni dan mengajarnya.
Karyanya sejak itu muncul di beberapa museum paling terkenal di dunia, termasuk Guggenheim dan MOMA di New York dan Tate Modern di London.
Pada 2018, ia bergabung dengan fakultas di Bennington College di Vermont.
Film dokumenter fitur pertamanya, “What We Left Unfinished,” tentang lima film yang dimulai dan ditinggalkan selama era Komunis di Afghanistan, sekarang diputar di bioskop tertentu.
“Saya tumbuh sangat banyak di antara beberapa budaya,” katanya dalam bio artisnya.
“Dan itulah posisi saya sebagai seorang seniman.”
Putri Ghani belum secara terbuka mengomentari tindakan ayahnya baru-baru ini.
Dalam artikel New York Times 2015 tentang pekerjaannya, dia menilai ayahnya sebagai orang yang "luar biasa."
“Dia selalu menjadi orang yang luar biasa,” kata Mariam Ghani kepada surat kabar itu pada saat itu, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Sebelum kembali ke Afghanistan pada 2001, Ashraf Ghani, seorang akademisi yang meraih gelar doktor dari Universitas Columbia di New York City, bekerja di PBB dan Bank Dunia.
Dia dan istrinya, Rula Ghani, yang berasal dari Lebanon, membesarkan dua anak mereka, Mariam dan Tarek, di Maryland, ketika Ashraf mengajar di Universitas Johns Hopkins.