Opini Ditulis Oleh Muhammad Ja’far Shodiq
(Pengurus Asosiasi Dosen NU Jawa Tengah, Wakil Sekretaris PWNU Jawa Tengah periode antar waktu 2000-2003)
TRIBUNJATENG.COM - Usai sudah perdebatan panjang tentang maju mundurnya Muktamar. Kini, perhelatan akbar warga Nahdliyyin kembali memasuki babak panas berikutnya: pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum PBNU.
Diantara dua sesi pemilihan itu, sejak dulu, sesi pemilihan ketua umum menjadi ajang paling ditunggu meskipun posisi Rais Aam sebenarnya merupakan posisi paling puncak dan kharismatik.
Ini dikarenakan Ketua Umum Tanfidziyah menjadi pelaksana strategis kebijakan organisasi yang telah ditetapkan oleh Syuriyah. Artinya, merekalah yang menjadi motor penggerak organisasi yang paling bersinggungan langsung dengan berbagai pranata sosial dan keummatan.
Dalam perspektif teori agency, mereka adalah agents palaksana utama kebijakan organisasi. Mereka menentukan cara dan bagaimana kapal besar NU ini dijalankan sesuai amanah Syuriyah. Oleh sebab itu, posisi Ketua Tanfidziyah pada setiap level di organisasi NU sangat strategis.
Baca juga: Sidang Hari Ke 2 Muktamar NU di UIN Raden Intan Lampung Molor, Ruangan Sepi Peserta
Baca juga: Sidang Pleno 1 Muktamar NU Memanas, M Nuh & Nadirsyah Hosen Sempat Tinggalkan Meja
Baca juga: Lokasi Pemilihan Ketua Umum PBNU Dipindah Ke Bandar Lampung, Panitia: Usulan Muktamirin
Ada perbedaan cara pemilihan antara Rais Aam dengan Ketua Umum Tanfidziyah. Rais Aam ditentukan dengan cara Ahlul Hali Wal-Aqdi (AHWA) sedangkan posisi ketua umum ditentukan dengan cara musyawarah mufakat atau melalui pemungutan suara (Voting).
Yang menarik adalah, setiap pelaksanaan muktamar, asas musyawarah mufakat jarang terjadi pada saat pemilihan Ketua Umum, meskipun semangat AD/ART mengutamakan hal itu. Dapat dipastikan, jalan vooting adalah cara yang ditempuh.
Hanya beberapa kali saja di awal perkembangan NU cara penentuan Ketua Tanfidizyah dengan model ditunjuk oleh Rais Aam karena pemegang amanah NU tertinggi ada di tangan Rois Am.
Tak Pelak, gaung pemungutan suara-pun bergema jauh hari sebelum pelaksanaan muktamar. Dapat diprediksi, saling klaim suarapun bertebaran. Bagi sebagian besar ulama khos, fenomena tebar suara ini merupakan kondisi yang sangat memprihatinkan, apalagi di jaman medsos yang penuh meme ini.
Belum lagi persoalan intrik politik di ajang muktamar yang kadang secara kasat mata proses pemilihan Ketua Umum lebih didominasi oleh ruh demokrasi berpolitik yang keras daripada ruh kearifan musyawarah yang lembut.
Lebih jauh, baru di muktamar kali ini, posisi Rais Aam sempat mencuat diperebutkan. Tidak seperti tradisi sebelumnya, siapa saja yang pantas sebagai Rais Aam biasanya sudah dapat diprediksi dan kontestasipun berjalan mulus karena para punggawa Masyayikh (Kyai Sepuh) saling mengalah untuk tidak menduduki jabatan Rais Aam.
Ini menunjukkan mulai merangseknya berbagai kepentingan di ranah penentuan Rais Aam. Jika hal ini dibiarkan berlanjut, di masa datang dikhawatirkan tradisi mengalah dan saling tunjuk untuk menjadi Rais Aam tidak lagi bakal terjadi.
Penguatan kembali kriteria Rais Aam kini menjadi penting, tidak lagi sebatas alim, adil, dan memiliki integritas moral yang tinggi tetapi juga zuhud, wira’i dan memiliki kriteria kriteria kesufian yang lain.
Peneguhan kembali kriteria ini perlu dikarenakan posisi Rais Aam merupakan posisi yang paling strategis bagi NU secara jam’iyyah dan jama’ah. Rais Aam adalah rujukan bagi pengambilan keputusan tertinggi yang menyangkut kemaslahatan ummat dan bangsa.