TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Kelangkaan minyak goreng masih terjadi di sejumlah daerah, dengan harganya yang juga belum sesuai harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Seperti diketahui, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi telah menerbitkan Permendag No. 6/2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit.
Rinciannya, minyak goreng curah Rp 11.500/liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500/liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000/liter. Permendag itu berlaku mulai 1 Februari 2022.
Menanggapi hal itu, Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika mengamati ada tiga faktor yang membuat minyak goreng akhir-akhir ini sulit ditemukan.
Menurut dia, Ombudsman telah melakukan pemantauan di 34 provinsi setelah adanya regulasi dari Kemendag.
"Pertama, karena terjadi penimbunan oleh oknum, dan hal ini perlu disikapi dengan sanksi yang tegas dari Satgas Pangan," ucapnya.
Yang kedua, menurut dia, ada perilaku pengalihan ke ritel modern. "Oleh oknum-oknum ini dijual ke pasar tradisional, ke toko-toko Rp 15 ribu, (ada yang-Red) Rp 16 ribu. Padahal di pasar modern dijual Rp 14 ribu," terangnya.
Faktor terakhir yang tidak bisa dihindari, Yeka menyebut, adalah perilaku panic buying. "Kami menerima banyak kiriman foto maupun video dari peristiwa membeli secara berlebihan," imbuhnya.
Pengamat ekonomi Core, Piter Abdullah menilai masalah kelangkaan minyak goreng terkait dengan persiapan yang minim.
"Niat baiknya bagus, menetapkan harga tertinggi Rp 14.000, tapi kan masyarakat butuhnya bukan hanya ditetapkan, tapi bagaimana di lapangannya. Harga Rp 14.000 tapi barangnya nggak ada ya gimana?" tukasnya.
Piter berpendapat, penetapan harga eceran tertinggi minyak goreng butuh persiapan. Pemerintah harus bisa menguasai distribusinya. Hal itu mengingat potensi untuk penyimpangan-penyimpangan pasti banyak terjadi, di mana akan ada penumpukan, hingga penyelundupan.
"Itu akan banyak, karena pengusaha akan mencari keuntungan yang lebih besar. Jadi selama pemerintah tidak menguasi distribusinya ini kondisinya akan terus terjadi," paparnya.
Persoalan distribusi, menurut Piter, adalah hal utama yang harus diawasi ketat. "Bahkan kalau perlu pemerintah turun tangan langsung dalam distribusinya. Kalau hanya mengatakan harganya Rp 14.000 tapi distribusinya dipegang oleh pengusaha, ya yang akan terjadi seperti sekarang ini," imbuhnya. (Tribun Network/Reynas Abdila/Dennis Destryawan)