Di sinilah kemudian generasi milenial yang relatif bersih harus membersihkan namanya di depan publik.
Secara kuantitas, mungkin publik tidak lagi meragukan keterlibatan kaum milenial ke kancah politik. Namun secara kualitas, publik masih meragukan integritas dan kapasitas kaum muda.
Belum lagi kondisi ekses negatif sejak era reformasi hingga kini yang belum juga menelurkan pemimpin muda yang berkualitas. Alhasil, pemimpin kaum muda hanya menjadi isapan jempol belaka.
Problemnya tentu saja karena politisi milenial masih larut dalam kultur politik yang patronatif. Banyak politisi milenial hanya menjadi kacung politisi tua, bahkan harus rela menjadi tangga politik bagi pelestarian kultur politik tua.
Di sinilah kemudian terjadi “tsunami” besar-besaran dalam perjalanan pemimpin politik milenial, yakni hilangnya sosok pemimpin muda yang menjadi harapan baru sejak era reformasi hingga kini.
Oleh sebab itu, tidak ada jalan lain bagi politisi milenial untuk melawan kultur politik patronatif. Gerakan politik anti korupsi harus menjadi antitesa atas iklim politik yang terjadi sekarang ini.
Politisi muda yang sedang berjuang meniti karir politik harus menjadi katalisator politik anti korupsi. Sebab jika tidak segera dilakukan, yang dikhawatirkan justru regenerasi muda yang koruptif. (*)
Baca juga: Buntut Oplosan Maut Renggut Nyawa 2 Remaja di Jepara, 2 Penjual Miras Ditetapkan Tersangka
Baca juga: Rektor USM Bersama 3 Rektor Universitas di Semarang Berikan Paparan Refleksi HPN 2022
Baca juga: Pemkot Semarang dan PPJ Data Pedagang Yaik yang Masuk Johar
Baca juga: Wujudkan Budaya Mutu, LP3M Unsoed Purwokerto Gelar RTM