Kekerasan tersebut dapat berupa kata-kata kasar sampai dengan siaran dan rekonstruksi kekerasan yang dapat ditonton di televisi, didengarkan melalui radio, ataupun dibaca melalui media cetak.
Bahkan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, kekerasan di media daring dan media sosial menjadi sesuatu yang lebih mudah disebarluaskan, bahkan tanpa filter.
Baca juga: Klasemen Liga Italia Setelah Inter Milan Taklukan AS Roma, Lautaro Pastikan Menggusur AC Milan
Baca juga: Jadwal Imsak dan Buka Puasa Kabupaten Karanganyar Besok, Ramadhan Hari ke-22, Minggu 24 April 2022
Baca juga: Jadwal Imsak dan Buka Puasa Hari Ini Padang, Ramadhan Hari ke-22, Minggu 24 April 2022
“Dari aspek gender, mereka yang rentan menjadi korban adalah perempuan, yaitu 71% dengan tujuan pelaku biasanya untuk memperoleh keuntungan baik seksual maupun finansial atau keduanya dengan menimbulkan perasaan tidak nyaman dan kerugian pada diri korban. Karakter khas dari bentuk kekerasan ini adalah keterlibatan teknologi digital," terang Nilnan.
Selain itu Nilnan juga mengatakan tidak ada alasan apapun untuk membenarkan tindakan kekerasan, baik kekerasan fisik ataupun kekerasan verbal, di dunia nyata dan di dunia maya.
"Kita bisa meminimalisir euphoria kekerasan dengan tidak mengunggah ataupun menyebarkan tindakan kekerasan di dunia maya, baik dalam bentuk gambar, video ataupun teks. Stop glorifikasi kekerasan di media sosial," pungkasnya.
(arh)
]