Berita Kudus

Di Usia Senja Mbah Amir Ditolak Anak-anaknya hingga Kini Tinggal di Gubuk, Tak Mau Salahkan Mereka

Penulis: Rifqi Gozali
Editor: muslimah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

gubuk Mbah Amir di Desa Setrokalangan RT 4 RW 1, Kecamatan Kaliwungu, Kudus.

TRIBUNJATENG.COM, KUDUS – Di usianya yang sudah senja, Mbah mir justru harus melalui hari-harinya dalam kesedihan dan keterbatasab.

Kakek 67 tahun itu harus tinggal di gubuk berukuran 2x1,5 meter berdinding spanduk bekas, beratap asbes, dan beralaskan kayu yang tertutup kasur lusuh.

Gubuk itu berdiri di atas tanah milik desa.

Tribunjateng.com berkesempatan mengunjungi Mbah Amir di gubuknya di RT 4 RW 1 Desa Setrokalangan, Kecamatan Kaliwungu, Kudus.

Saat itu Mbah Amir tengah berkativitas di sekitar gubuknya.

Baca juga: Ini Alasan Pemerintah Tidak Berlakukan Tarif Tol Gratis di Arus Mudik dan Balik 2022

Baca juga: Ketahuan Buang Janin di Belakang Pasar, N Mengaku Malu hingga Minum Obat Penggugur Kandungan

Tidak ada aktivitas berarti. Saat itu Mbah Amir tengah bersantai di depan WC umum yang letaknya hanya sekitar 5 meter dari gubuknya.

WC umum itulah tempat Mbah Amir mandi dan buang air.

Lelaki dengan kerutan wajah di sana-sini, uban mengepul di kepala, dan jenggot putih tebal sampai menutupi leher itu bercerita jika dia tinggal di gubuk itu sudah dua tahun.

Mbah Amir saat membuka gubuknya di Desa Setrokalangan RT 4 RW 1, Kecamatan Kaliwungu, Kudus. (Tribun Jateng/ Rifqi Gozali)

Mula-mula dia adalah seorang pengayuh becak. Sampai akhirnya dua tahun lalu dia harus mengalami kecelakaan.

Dia tertabrak sepeda motor sampai tulang kaki kanannya melesat.

Dari situ akhirnya dia dibawa ke rumah sakit.

Setelahnya dia dibawa pulang ke rumah anaknya, namun anaknya tak mau merawat.

Itulah kisah yang akhirnya mengantarkan Mbah Amir tinggal di gubuk tersebut.

Kecelakaan yang membuat kaki kanannya cedera permanen itu pun kini berimbas pada dirinya.

Dalam beraktivitas, Mbah Amir harus dibantu penyangga. Kaki kanannya seperti berat dibuat melangkah.

Istri Mbah Amir sudah meninggal sejak tiga tahun lalu, meski begitu sedianya dia punya tiga anak.

Satu di antara anaknya tinggal berdekatan dengan gubuknya.

Sedangkan dua anak lainnya, katanya, tinggal di Desa Garung Kidul, Kecamatan Kaliwungu, dan Desa Jojo, Kecamatan Mejobo.

Namun anak-anak itu tidak ada yang merawatnya.

Mbah Amir sendiri sadar akan hal tersebut.

Di usianya yang sudah renta ini tak ada anak yang merawatnya karena sejak kelahiran anak-anak, dia jarang bertemu.

Hari-harinya disibukkan dengan bekerja sebagai pengayuh becak. Tidak pulang ke rumah.

“Soalnya saya tidak bersama mereka sejak lahir, karena saya bekerja sebagai tukang becak. Yang merawat mereka ibunya,” kata dia.

Menjadi pengayuh becak dia lalui selama bertahun-tahun. Katanya sejak 1970-an

Saat itu memang hampir tidak pernah dia pulang menemui keluarga. Dia bermalam di becaknya.

Dalam mengayuh becak dia beroperasi di sekitaran Kota Kudus.

Kini Mbah Amir tidak lagi  muda. Untuk beraktivitas layaknya saat muda sudah tak kuasa.

Hari-harinya disibukkan dengan aktivitas di sekitaran gubuk tempat tinggalnya.

Untuk makan dia bisa beli dari uang pemberian orang. Atau kalau tidak, dia berharap belas kasihan dari orang sekitarnya yang dengan sengaja memberinya makan.

“Atau para keponakan kadang juga berbagi. Saat lebaran saya juga dikasih keponakan,” katanya.

Simpan Persoalan

gubuk Mbah Amir di Desa Setrokalangan RT 4 RW 1, Kecamatan Kaliwungu, Kudus. (Tribun Jateng/ Rifqi Gozali)

Kisah Mbah Amir yang kini harus tinggal di gubuk yang sangat tidak layak ini ternyata menyimpan persoalan kompleks.

Persoalan itu datang dari keluarganya hingga akhirnya anaknya tidak mau merawatnya.

Kepala Desa Setrokalangan, Didik Handono, mengatakan, Mbah Amir memiliki anak yang tinggal berdekatan.

Hanya saja anaknya itu tidak mau merawat.

Kisah itu berawal saat pekerjaan Mbah Amir sebagai pengayuh becak harus berhenti karena kecelakaan yang membuat kakinya cedera permanen.

Kata Didik, selepas kecelakaan Mbah Amir dibawa pulang ke kediaman anaknya.

Kediaman tersebut dulunya merupakan rumah Mbah Amir masa kecil. Sesampainya di rumah sang anak ternyata Mbah Amir ditolak.

“Setelah sampai di rumah anak, dia ditolak. Jadi Mbah Amir hanya di jalan bahkan kakinya luka-luka. Akhirnya inisiatif dari keluarga dan perangkat desa setempat  membuatkan rumah kecil-kecilan supaya bisa ditempati di tanah desa,” kata Didik.

Melihat kondisi Mbah Amir yang ditolak oleh anaknya itu, dia secara pribadi tidak tega.

Tapi apa boleh buat, sang anak tidak mau merawatnya. Kisah gelap yang terjadi di keluarga Mbah Amir diduga menjadi penyebabnya.

“Mungkin waktu anaknya masih kecil, (Mbah Amir) jadi orangtua kurang ada tanggung jawab. Jadi anaknya seolah-olah balas dendam tidak mau merawat,” katanya.

Saat terjadinya penolakan, kata Didik, pihaknya juga sudah berusaha mendamaikan konflik antara anak dan orangtua.

Tapi tidak berhasil. Bahkan, katanya, dia sempat mengusulkan agar dibangun rumah barang sepetak di sisa tanah yang ada di samping rumah anaknya.

Dengan harapan Mbah Amir bisa tinggal lebih layak dan dekat dengan anaknya. Tapi, katanya, anak Mbah Amir tidak berkenan.

Kini Mbah Amir tidak bisa berharap banyak pada anaknya. Untuk bertahan hidup dia mengandalkan pemberian warga sekitar.

Pemerintah desa, katanya, juga beberapa kali mengusulkannya sebagai penerima bantuan sosial.

Katanya, Mbah Amir termasuk penerima bantuan sosial senilai Rp 300 ribu per bulan. Kemudian untuk program keluarga harapan (PKH), Mbah Amir memang belum mendapatkannya.

“Tapi sudah kami usulkan untuk masuk dalam DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial),” katanya.

Kemudian, untuk mengusulkan hunian yang lebih layak untuk Mbah Amir, dirinya terbentur suatu hal.

Di antara syarat bantuan program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), harus didirikan di tanahnya sendiri. Sementara Mbah Amir saat ini mendiami tanah milik desa. (*)

Berita Terkini