Oleh Agustinus Fasak
Magister Psikologi Unika Soegijapranata, Semarang
"JADIKAN deritaku ini sebagai kesaksian bahwa kekuasaan seorang Presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat.
Dan di atas segalannya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa” (Bung Karno).
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi memberi ruang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk menyuarakan hak-hak politiknya.
Hak politik setiap warga negara adalah memilih dan dipilih dalam pesta demokrasi setiap lima tahunan. Dalam rangka menyongsong pesta demokrasi tahun 2024, berbagai hasil survei menampilkan sejumlah sosok yang disukai oleh masyarakat.
Hasil rakernas partai-partai turut meramaikan dengan mengumumkan calon-calon pemimpin yang dianggap mewakili aspirasi masyarakat dan mulai melakukan konsolidasi ke arah koalisi.
Prinsipnya segala upaya dilakukan partai politik untuk bisa memenangkan pemilihan umum bagi calon presiden dan wakil presiden.
KPU telah menetapkan 14 Februari 2024 sebagai Hari Pemilihan Umum Nasional. Menanggapi hal itu, partai politik, kekuatan politik dan unsur-unsur kepentingan telah gencar melakukan trik dan intrik politik.
Para calon pemimpin versi survei pun turut melakukan strategi politik guna menjaga dan mendulang elektabitas. Pesan dan kesan ditampilkan melalui kehadiran langsung atau melalui media sosial sebagai ekspresi kesiapan diri.
Di tengah masyarakat juga mulai hangat pembicaraan tentang bakal calon presiden maupun bakal calon wakil presiden.
Masing-masing pihak menganggap sosok calon pemimpin pilihannya lebih mampu dan berkarakter. Media sosial dijadikan sarana yang ampuh untuk menampilkan daftar prestasi dari calon pemimpin yang didukungnya.
Namun ada nuansa yang kurang edukatif di mana masing-masing pihak mulai saling menyerang secara negatif melalui media sosial.
Menjadi pemimpin untuk negara besar seperti Indonesia bukan perkara gampang. Pemimpin harus memiliki kemampuan maksimal untuk menjawab harapan masyarakat, memecahkan masalah dan menyelesaikannya.
Demokrasi telah menyiapkan panggung kepada individu yang merasa layak menjadi calon pemimpin untuk tampil. Harapanya di atas panggung politik ini bukan sandiwara yang dimainkan melainkan ekspresi panggilan hati nurani yang lebih menguat.
Tangan Kotor
Thompson dalam bukunya berjudul “Etika Politik Pejabat Negara” menyatakan bahwa kehidupan politik tidak dapat luput dari konflik.
Oleh karena itu seorang politisi atau pemimpin politik bisa tergoda melakukan apa yang dikatakan Satre ‘berpolitik dengan tangan kotor sampai batas siku’. Thompson menyebutnya berpolitik dengan tangan-tangan kotor.
Ungkapan ini merupakan kritik yang diarahkan kepada para pejabat pemerintah kerajaan zaman itu yang karena rakus dan ambisius terhadap kekuasaan melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermoral.
Para ahli teori politik juga berpendapat bahwa para pemimpin di negara demokratis yang mapan sekalipun mungkin memiliki tangan yang tidak kalah kotornya.
Dalam hal ini, dari segi etika politik tidak ada pembenaran menghalalkan segala cara yang kotor untuk memuluskan kepentingan yang tidak bermoral.
Dewasa ini pemahaman sebagian masyarakat tentang politik lebih bernuansa negatif di mana terindikasi adanya pembiaran terhadap cara berpolitik yang kotor. Politik tidak sekadar identik dengan strategi perebutan kekuasaan dan jabatan semata.
Dan mirisnya, sebagian masyarakat membenarkan cara kotor tersebut.
Mulai adanya nuansa kepentingan politik yang bersifat egoisme dan kelompokisme yang menguat. Ambisi kekuasaan disertai janji-janji politik yang mengelabui dianggap lumrah.
Mereka yang haus akan kekuasaan, memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan pesan-pesan bernada suara sumbang.
Belajar Berhati Nurani
Politik berkaitan dengan konsep hidup bernegara, tata kelola kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan, pembagian dan alokasi. Politik dapat diartikan sebagai suatu cara untuk mewujudkan cita-cita atau ideologi. Bagi kaum yang melek politik memandangnya sebagai sarana untuk menguji rasa kemanusiaan seorang pemimpin dalam mewujudkan keadilan masyarakat.
Pemimpin ideal seperti apa? Dalam perpektif kepemimpinan psikologis, seorang pemimpin mesti memiliki kepribadian yang matang dan berintegritas.
Pemimpin yang dapat memberi dampak positif yang luar biasa disertai pengambilan kebijakan yang berorientansi kepada keadilan dan kesejahteraan.
Cottam dkk (2016) dalam Introductional Political Psychologi memberi contoh tentang figur kepemimpinan Mahatma Gandhi yang dikenal sebagai pemimpin berintegritas.
Gandhi adalah seorang pemimpin yang dengan gerakan nurani mampu membangkitkan dan meningkatkan harapan jutaan orang India. Ia menegakkan kebenaran tanpa kekerasan. Gandhi, pemimpin kharismatik dengan visi yang jauh ke depan bagi pembangunan negara dan rakyat India.
Presiden pertama Indonesia Soekarno meletakkan dasar negara UUD 1945 dan Pancasila sebagai arah pergerakan perjalanan bangsa Indonesia dari kobaran nuraninya.
Cindy Adams penulis buku 'Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia' memberi julukan nama baru kepada Soekarno “sang maha pencinta”.
Adams menggambarkan nurani Bung Karno sebagai pribadi yang sangat mencintai negara, rakyat, dan keindahan. Jiwanya bergetar setiap kali memandang matahari terbenam di Indonesia.
“Akan tetapi aku bersyukur kepada Sang Maha Pencipta, karena aku dilahirkan dengan perasaan halus dan darah seni. Kalau tidak demikian, bagaimana aku bisa menjadi Pemimpin Besar Revolusi, sebagaimana 105 juta rakyat menyebutku?
Kalau tidak demikian, bagaimana aku bisa memimpin bangsaku untuk merebut kembali kemerdekaan dan hak asasinya, setelah penjajahan Belanda?
Kalau tidak demikian bagaimana aku bisa mengobarkan suatu revolusi di tahun 1945 dan menciptakan suatu Negara Indonesia yang bersatu, yang terdiri dari pulau Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan bagian lain dari Hindia Belanda?”, (Bung Karno).
Ada sebuah pertanyaan yang sangat menggugah tetapi juga menggugat yang disampaikan para psikolog politik: “Apakah pemimpin dilahirkan atau ditempa?”
Banyak yang sepakat bahwa pemimpin ditempa. Mahatma Gandhi dan Bung Karno merupakan pemimpin yang lahir dari panggilan hati nurani terhadap rakyat yang dijajah dan ditindas untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia, hak asasi bangsa dan hak untuk merdeka.
Pemimpin masa kini juga mesti lahir dari harapan dan kegelisahan rakyat yang mendambakan keadilan dan kesejahteraan yang menyeluruh dan utuh.
Pastikan bahwa pemimpin dan calon pemimpin Indonesia bisa melihat persoalan kebangsaan dengan pandangan mata nurani yang jernih. Karena seperti kata Bung Karno bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia belum selesai.
Apa yang baik, benar dan adil yang telah diletakkan pemimpin terdahulu supaya dilanjutkan dan ditingkatkan dalam semangat perjuangan nurani.
Apa yang masih kurang supaya diisi dengan niat yang murni. Semua mesti sepakat seperti kata Bung Karno bahwa orang Indonesia tidak boleh menjajah rakyat dan bangsanya sendiri.
Gandhi memberi catatan ideal tentang seorang pemimpin dan kekuasaan, “Ada dua macam kekuasaan. Yang satu diperoleh karena takut akan hukuman dan yang lain dengan tindakan cinta.
Kekuasaan yang didasarkan pada cinta adalah seribu kali lebih efektif dan permanen dari pada yang diperoleh dari rasa takut akan hukuman”.
Pemimpin dengan hati nurani adalah sebuah keniscayaan bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Indonesia yang besar dan multikutural hanya bisa dirangkul oleh pemimpin dengan cinta yang besar terhadap bangsa dan negara.
Berkarakter
Sistem pemilihan umum di negara-negara yang menganut paham demokrasi meyakini adagium ini suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei) dalam memilih seorang kepala negara.
Pemimpin lahir dari suara kegelisahan dan harapan rakyat yang mendambahkan keadilan dan kesejahteraan.
Pengamat politik J. Kristiadi mengingatkan agar rakyat juga jangan terlena dengan ungkapan romantik dan retorik tersebut di atas. Karena kalau rakyat lengah dalam memilih maka rakyat juga yang akan menuai sengsara dan derita. Harapannya, rakyat sudah harus cerdas dan jeli dalam memilih calon pemimpin.
Di samping itu, calon pemimpin juga diharapkan memiliki karakter yang lahir dari jati diri dan bukannya bertopeng ketika berhadapan dengan masyarakat pemilih.
Karakter-karakter ideal seorang pemimpin sebagai berikut:
Pertama, pemimpin harus berbau rakyat. Pemimpin jenis ini bergulat dengan perjuangan para petani, nelayan dan rakyat miskin yang masih bermimpi tentang kesejahteraan hidup.
Pemimpin yang sadar bahwa ia terlahir dari keringat dan pengorbanan rakyat kecil. Maka prioritas utama seorang pemimpin adalah seni mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat dari pinggiran.
Kedua, pemimpin memberi gagasan dan visi kepada rakyat untuk sama-sama membangun negara.
Ia memberi ruang dan waktu kepada rakyat untuk turut mengontrol sebagai bentuk dukungan moril dan untuk memberi suara kritis yang membangun.
Ketiga, pemimpin tidak melihat kursi kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaan melainkan sebagai sarana untuk melayani rakyat.
Karena kursi kekuasaan yang diduduki hanya lima sampai sepuluh tahun. Tetapi pelayanan seorang pemimpin yang tulus kepada rakyat akan membekas terus di dalam hati rakyatnya bahkan menjadi inspirasi bagi pemimpin selanjutnya.
Keempat, pemimpin dengan rekam jejaknya yang jelas dalam membangun kesejahteraan masyarakat berdasarkan semangat Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Nuraninya gelisah apabila ada suku, agama, ras, dan golongan tertentu belum mendapatkan keadilan. Nuraninya bergetar apabila melihat rakyatnya bisa membangun hidup yang rukun, toleran, dan damai.
Kelima, pemimpin selalu ada untuk rakyat. Di mana ada perbedaan yang tajam, pemimpin hadir sebagai solusi dan pemersatu.
Di mana ada ketidakadilan, pemimpin hadir untuk memperjuangkan rasa keadilan bagi semua. Di mana ada kaum kecil dan lemah mengalami penindasan, pemimpin hadir sebagai penyambung suara hati nurani rakyat. (*)
Baca juga: Fokus : Selamat Berpesta, Warga Solo
Baca juga: Disnakertrans Jawa Tengah Gelar Bursa Kerja Bagi Disabilitas
Baca juga: Bazar Pangan Murah di Karanganyar Diserbu Warga, Beras 4 Ton Ludes
Baca juga: My Superhero Tomato, SD Satya Wacana Salatiga Ceritakan Perjuangan Hidup Sehat