Kasus Kekerasan

Derita Perempuan di Jawa Tengah, Dibenturkan ke Tembok, Ancaman Dibunuh hingga Dipaksa VCS

Penulis: iwan Arifianto
Editor: sujarwo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi. Kepala Divisi Bantuan Hukum LRC-KJHAM, Nihayatul Mukharomah saat penyampaian situasi kekerasan terhadap perempuan, di Kota Semarang, Kamis (25/11/2021).

Dilihat dari bentuk kekerasannya perempuan korban mengalami kekerasan seperti dijambak,
dibenturkan ke tembok, diancam akan dibunuh.

Ilustrasi. Legal Resource Center untuk Keadilan Jender Dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) menggelar diskusi (Dok. Tribun Jateng)

Diancam akan disebarkan foto atau video tanpa busana korban, memaksa korban untuk melakukan video call seks (Vcs) dan memperlihatkan alat kelamin pelaku. 

Pelaku juga membujuk rayu korban dan memperjual belikan korban untuk melayani hubungan seksual pelaku, bahkan tidak diberi nafkah hingga diusir dari rumah.

Modus yang digunakan oleh pelaku kekerasan seksual juga beragam dengan memanfaatkan aplikasi Tinder, Game Online untuk membangun kepercayaan. 

Pendekatan lainnya dengan korban seperti diajak bertemu di hotel, minta dikirimin foto payudara, tanpa pakaian, dengan janji fotonya tidak akan disebarkan ke orang lain. 

Adapula yang dinikahi dengan dua kalimat syahadat tanpa wali dan saksi.

"Modus membujuk korban usia anak untuk ikut dalam prostitusi online dengan iming-iming imbalan uang serta enak jika tidur di kamar hotel," paparnya.

Sementara itu korban masih mengalami hambatan dalam mengakses keadilan. 

Di antaranya adalah adanya kasus pelecehan seksual korban dewasa yang didampingi LRC-KJHAM tidak diproses setelah korban mendapatkan tekanan dari orang tua pelaku. 

Korban diminta untuk mencabut laporannya di kepolisian.  Padahal dalam undang-undang Tindka Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) jelas mengatur bahwa kasus kekerasan seksual tidak dapat dilakukan mekanisme keadilan restoratif.

Sudah ada Undang-undang tindak pidana kekerasan seksual tetapi masih belum bisa diimplementasikan. 

Seperti pada kasus eksploitasi seksual yang korbannya perempuan dewasa, kasus kekerasan seksual dengan modus dipacari oleh pelaku karena dianggap bukan kekerasan tetapi “suka sama suka”. 

"Kasus kekerasan seksual dalam rumah tangga juga sulit untuk diproses," jelasnya.

Dari kasus yang didampingi LRC-KJHAM, hasil pemeriksaan medis korban KDRT yang juga mengalami kekerasan seksual tidak diterima polisi, karena dianggap tidak ada kekerasan dalam relasi suami istri.

Berdasarkan pada situasi tersebut, pihaknya menuntut kehadiran Negara yaitu aparat penegak hukum harus mengimplementasikan undang-undang TPKS.

Halaman
123

Berita Terkini