TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Dua lansia ibu dan anak, Siyem (78) dan Yanti melakukan orasi di depan kantor Polda Jateng, Selasa (7/3/2023).
Mereka berdua ditemani sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) membentangkan spanduk berisi aduan mereka berupa kronologi penyerobotan tanah.
Dua warga asal Sumberejo, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang itu, mengaku, tanah mereka diserobot lalu dijual sebagai tanah uruk proyek tol Semarang-Solo.
Baca juga: Polisi Diperas Polisi saat Lapor Kasus Penyerobotan Tanah: Dia Minta Rp100 Juta & Tanah 1.000 Meter
Tak tanggung-tanggung, tanah seluas sekira 2.790 meter persegi berkontur perbukitan dikepras hingga landai.
Tanah ribuan meter itu menghasilkan 3.993 truk tanah urukan yang disetor ke proyek tol.
Mirisnya, Yanti dan keluarga tidak mendapatkan uang sepeserpun.
“Awalnya ada yang ngontrak lahan bapak saya lalu ditanemi tebu tapi malah diserobot dan langsung dikeruk untuk Tol Semarang-Solo," tutur korban, Yanti.
Ia mengaku ada empat sertifikat tanah milik keluarganya yang diserobot oleh orang lain.
Keempat sertifikat tersebut berada di Desa Ujung-Ujung yakni SHM nomor 38 atas nama ayahnya bernama Sumali, SHM 39 atas nama Rudi, SHM 81 atas nama Harno dan SHM 105 atas nama ibunya yakni Siyem.
Ia mendapatkan tanah-tanah tersebut dari negara berdasarkan surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Jateng nomor SK.DA.II/HM/2155/28/1979 tanggal 15 Februari 1979.
"Karena secara fakta kami adalah petani penggarap tanah negara untuk berkebun,” imbuhnya.
Menurut Yanti, Kasus itu bermula saat tahun 2010, kala itu sempat mendapat fotokopi SHM atau surat bukti kepemilikan tanah atas nama mereka.
Namun, fotokopi itu diminta perangkat desa dengan dalih untuk pendataan.
"Tahun 2015, tanah kami dikuasai oleh Sumardiyanto, padahal kami tidak pernah merasa menjualnya," bebernya.
Sebelum mengadu ke tingkat Polda, mereka sebenarnya sudah 'mengemis' keadilan di Polres Semarang.
Namun, menurut mereka tidak ada hasil.
Baca juga: Warga Klaten Laporkan Pensiunan Brigjen TNI ke Polisi terkait Penyerobotan Tanah
Yanti berharap, Polda Jateng segera memproses sekaligus menindaklanjuti laporan dugaan penyerobotan tanah yang dilakukan pada tahun 2018 dengan terlapor Sumardiyanto cs.
"Kita minta seadil-adilnya, tanah saya dipulangkan, tanah bapak saya dipulangkan. Bapak saya dulu diancam sampai sekarang sudah meninggal, saya gak terima,” katanya sembari menangis sesenggukan.
Terpisah, Kabidhumas Polda Jateng Kombes Iqbal Alqudusy menjelaskan, Polda Jateng telah menerima dan menangani laporan aduan tersebut sesuai dengan SOP.
“Tidak ada penghentian perkara, semua masih berproses dan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) selalu dikirimkan kepada para pelapor,” tuturnya.
Meski demikian, Kabidhumas tidak menampik adanya hambatan yang dialami oleh para penyidik yang menangani kasus tersebut.
Kendala itu di antaranya beberapa saksi dan korban yang mengetahui secara langsung dari peristiwa tersebut telah meninggal dunia.
“Proses ukur ulang tanah dari permohonan sampai dengan pelaksanaan juga butuh waktu sangat lama sebab ada prosedur atau tahapan dari BPN yang harus dilalui,” ungkapnya.
Diterangkan pula terkait tindak lanjut dari penanganan perkara tersebut, saat ini tim penyidik telah mempersiapkan pelaksanaan gelar perkara untuk memberikan kepastian hukum.
Baca juga: Oknum Notaris di Blora Jadi Tersangka Kasus Penyerobotan Tanah, Penuhi Panggilan Polda Jateng
“Sebagai tindak lanjut, rencananya akan dilaksanakan gelar perkara untuk memberikan kepastian hukum terkait pengaduan tersebut,” katanya.
Usai melakukan demo di depan Polda Jateng, Yanti dan ibunya juga mendatangi kantor Pemerintahan Provinsi Jawa Tengah untuk meminta solusi kasus tersebut.
“Saya minta tolong kepada bapak Kapolda, bapak Presiden dan pak Gubernur tolong dibantu rakyat kecil ini saya sakit hati bapak saya diancam sampai meninggal,” imbuh Yanti. (Iwn)