Menurut juru kunci, Saka guru yang menjadi tiang utama masjid sama sekali tidak pernah direnovasi.
Keaslian yang masih terpelihara terlihat dari ornamen di ruang utama, khususnya di mimbar khotbah dan imam.
Ada dua ukiran di kayu yang bergambar nyala sinar matahari.
Gambar seperti ini banyak ditemukan pada bangunan-bangunan kuno era Singasari dan Majapahit.
Kekhasan yang lain adalah atap dari ijuk kelapa berwarna hitam.
Atap seperti ini mengingatkan bangunan pura zaman Majapahit atau tempat ibadah umat Hindu di Bali.
Tempat wudu pun juga masih bernuansa zaman awal didirikan meskipun dindingnya sudah diganti dengan tembok.
Sejak tahun 1965 masjid ini sudah dua kali dipugar.
Selain dinding tembok, juga diberi dinding anyaman bambu serta lapisan atap seng, Meski sebagian dinding telah direhab dengan tembok, tetapi arsitektur masjid tetap tidak diubah.
Sehingga tidak ada perbedaan bentuk yang berarti dari awal berdiri hingga sekarang.
Sedangkan tiang dari kayu jati yang menopang bangunan utama masjid dengan ukuran masih terlihat begitu kokoh.
Selama ratusan tahun berdiri, warga dan jamaah di Cikakak sama sekali tidak mengganti bangunan utama yang ada di tempat itu
Kecuali hanya membangun tembok sekeliling masjid sebagai penopang.
Barang lainnya yang sampai sekarang masih tetap rapi dan dipelihara di antaranya adalah bedug, kentongan, mimbar masjid, tongkat khatib dan tempat wudlu.
Sebagaimana tertulis dalam papan peringatan di sekitar masjid, tertulis bahwa, Masjid Saka Tunggal Baitussalam, Desa Cikakak, Kabupaten Banyumas merupakan Benda Cagar Budaya.